Organisasi Regional
Peran yang dimainkan oleh
organisasi-organisasi regional sangat berbeda bergantung pada karakteristik
organisasi tersebut. Karakteristik ini dipengaruhi oleh faktor geografis,
ketersediaan sumber-sumber dan struktur organisasi. Perbedaan faktor-faktor ini
akan mempengaruhi bentuk Organisasi Regional dan organ-organ yang menopangnya.
Perbedaan karakter ini juga nantinya akan berpengaruh pada mekanisme dan
prosedur penyelesaian konflik yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara
anggota dalam sebuah Organisasi Regional.
Uni Eropa, Organisasi
Regional paling maju saat ini, memiliki European
Court of Justice, organ khusus yang bertanggung jawab atas setiap
upaya penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota Uni Eropa, yang
yurisdiksinya mencakup seluruh negara anggota, organ-organ penting dalam
masyarakat dan warga negara sah dari negara-negara anggota. Hal ini dijelaskan
dalam the Treaty of
Amsterdam(1997) yang mulai diberlakukan pada tahun 1999.
Pakta Pertahanan Atlantik
Utara (North Atlantic Treaty
Organisation – NATO) yang didirikan pada tahun 1949 juga
memiliki prosedur penyelesaian konflik antara negara-negara anggotanya. Pada
1956, organ utama NATO, Dewan Atlantik Utara, merumuskan suatu komitmen yang
menggariskan bahwa, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur
negosiasi langsung harus disampaikan dan dibahas dengan prosedur dan dalam
forum NATO sebelum dibawa ke organisasi internasional di luar NATO. Resolusi
tersebut juga menyebutkan bahwa Sekjen maupun negara-negara anggota memiliki
hak dan kewajiban untuk meminta perhatian dewan mengenai ancaman-ancaman yang
dapat mempengaruhi solidaritas dan efektifitas aliansi. Lebih lanjut, Sekjen
diberikan wewenang sebagai fasilitator yang dimandatkan untuk menyelenggarakan
penyelidikan, mediasi, atau arbitrasi bagi negara-negara anggota yang
berkonflik.
Pakta Warsawa yang
didirikan oleh Uni Soviet dan meliputi sebagian besar Eropa Timur, memiliki
suatu wadah kerjasama ekonomi yang didirikan pada 1949, yaitu Council for Mutual Economic Aid,
namun tanpa sebuah organ penyelesaian sengketa. Organisasi ini kemudian hancur seiring
runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin dan digantikan oleh Commonwealth of Independent States (CIS)
yang dipimpin oleh Federasi Rusia.
Banyak Organisasi Regional
lain yang masing-masingnya memiliki prosedur penyelesaian sengketa tersendiri
yang dirumuskan dengan berpedoman pada perjanjian yang telah disepakati oleh
negara-negara anggotanya, seperti; Conference
on Security and Cooperation in Europe (CSCE) yang kemudian
berubah menjadi Organization for Security and
Cooperation in Europe (OSCE); Organization
of American States (OAS) dengan ketentuan penyelesaian konflik
yang tertuang jelas dalam Pakta Bogota; Organization
of African Union (OAU); danOrganization
of the Islamic Conference (OIC), yang masing-masingnya
memiliki organ tersendiri dalam upaya penyelesaian sengketa yang terjadi antara
negara-negara anggotanya.
Peran Organisasi Regional Dalam
Menyelesaikan Sengketa
Dalam menyelesaikan sengketa internal
kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah untuk menjadi wadah
konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum negosiasi bagi
negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam kondisi yang
berpotensi menimbulkan konflik. Peran ini secara nyata dapat
dilihat dalam Perang Cod, konflik batas perairan Inggris-Islandia yang meletus
pada 1961 dan 1976. Konflik pertama dapat diredakan melalui negosiasi yang
digagas oleh NATO. Konflik kedua berhasil diselesaikan melalui Pertemuan
Tahunan Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota NATO yang diselenggarakan di
Oslo yang digagas oleh Menteri Luar Negeri Norwegia bersama Sekjen NATO kala
itu. Negosiasi ini berujung pada kesepakatan kedua negara untuk mengakhiri
pertikaian. Peran yang relatif sama juga tampak pada sengketa perbatasan
Aljazair-Maroko tahun 1963. Di sini, OAU membentuk suatu komisi ad hoc dan
menyelenggarakan beberapa pertemuan yang diikuti oleh kedua negara yang
bersengketa, bertujuan untuk membahas masalah penarikan pasukan, pengembalian
tawanan perang dan perbaikan hubungan diplomatik.
Organisasi Regional juga kadang
berperan sebagai mediator dalam konflik-konflik internal kawasan. Dengan
wewenangnya, Organisasi Regional merancang sebuah prosedur resolusi konflik
untuk menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota. Contohnya; OAS yang
bertindak sebagai mediator dalam sengketa Honduras-Nicaragua pada tahun 1957
perihal keputusan arbitrase Raja Spanyol. Pasca pengaduan kedua negara yang
bersengketa, OAS menyelenggarakan sebuah pertemuan khusus dan meminta kedua
negara yang bersengketa untuk menghentikan tindakan-tindakan provokatif yang
dapat mempertajam konflik. OAS kemudian membentuk sebuah komite yang terdiri
dari perwakilan lima negara anggota yang bertugas untuk mempelajari sengketa
tersebut. Komite ini kemudian mengunjungi kedua negara dan meminta kedua negara
untuk menandatangani kesepakatan genjatan senjata dan penarikan pasukan
masing-masing. Komite kemudian juga ditugaskan untuk merumuskan prosedur
resolusi konflik untuk menyelesaikan sengketa ini. Walaupun pada akhirnya usaha
ini terbukti gagal, namun upaya mediasi yang dilakukan OAS berhasil meredakan
ketegangan yang ada. Upaya mediasi juga dilakukan oleh CSCE/OSCE dalam sengketa
wilayah Dneister pada tahun 1993. Di sini, CSCE sebagai mediator, menetapkan
otonomi bagi Dneister di bawah otoritas pemerintah Moldova dan penarikan
pasukan Rusia dari wilayah ini. Pada prakteknya, proses mediasi oleh Organisasi
Regional dapat didelegasikan kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap mampu.
Seperti dalam sengketa Tanzania-Uganda tahun 1972, di mana Kepala Negara
Somalia diberi mandat sebagai mediator dengan didampingi oleh Sekjen OAU.
Organisasi regional juga dapat
melakukan penyelidikan terhadap konflik yang terjadi antara negara-negara
anggotanya. Nantinya, hasil penyelidikan ini akan digunakan untuk merumuskan
resolusi konflik yang dianggap paling efektif untuk diterapkan. Misalnya pada
sengketa perbatasan Bolivia-Paraguay tahun 1929. Penyelidikan dilakukan
oleh The Chaco
Commission yang dibentuk oleh Conference of American States atas
mandat yang diberikan oleh OAS. Contoh lain,Inter-American
Commission, yang ditugaskan untuk menyelidiki penyebab
sengketa Haiti-Republik Dominika tahun 1937.
Pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian
merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh Organisasi Regional. Beberapa contoh
kasus; pengiriman pasukan penjaga keamanan CIS di Georgia pada masa kekosongan
pemerintah sipil tahun 1994; dikirimnya pasukan penjaga perdamaian ECOWAS yang
didukung oleh Dewan Keamanan PBB di Sierra Leone (1997), Ivory Coast (2003),
dan Liberia (2003); operasi penjaga perdamaian yang dilakukan oleh CEMAC pada
tahun 2002 menggantikan pasukan CEN-SAD yang telah berada di sana sejak 2001;
pasukan penjaga perdamaian yang dikirim oleh OAU ke Darfur, bagian barat Sudan,
untuk mendampingi peneliti-peneliti Uni Afrika yang berada di sana.
Batas Kemampuan Organisasi Regional
Keterikatan Organisasi Regional pada
batas-batas geografis kawasan melemahkan kemampuannya untuk menyelesaikan
konflik intra-regional hingga ke titik terendah. Dalam bahasa sederhana,
Organisasi Regional bukan pilihan yang tepat untuk meredakan konflik yang
terjadi antara negara anggotanya dengan negara anggota Organisasi Regional
lain. Faktanya,
dalam konflik-konflik seperti ini, kehadiran Organisasi Regional cenderung
mempertajam konflik yang ada. Konflik Argentina- Inggris dalam sengketa
Falklands adalah contoh nyata dari kelemahan ini. Dalam kasus ini, kedua pihak
yang bertikai justru memanfaatkan keanggotaan mereka untuk memobilisasi
kekuatan dan mencari dukungan. Pada akhirnya, konflik ini harus diselesaikan
oleh PBB.
Organisasi Regional tidak memiliki hak
untuk ikut campur dalam konflik domestik negara-negara anggotanya, konflik
seperti; revolusi, perang sipil, dan peristiwa merusak lainnya. Mereka tidak
memiliki yurisdiksi untuk itu, mereka dirancang untuk mengatur dan menjembatani
hubungan antara negara-negara anggotanya, bukan mencampuri urusan internal
negara-negara anggotanya. Hal ini akan sangat berpengaruh apabila konflik
internal tersebut menyebar hingga ke negara tetangga dan pada akhirnya
mengancam stabilitas keamanan kawasan. Dapat dilihat, Ketidakmampuan dan
keengganan Organisasi Regional untuk terlibat dalam urusan-urusan domestik
negara anggota pada akhirnya akan membahayakan eksistensi Organisasi Regional
itu sendiri.
Loyalitas dan solidaritas negara
anggota yang sangat dipengaruhi oleh hubungan antar negara, kepentingan
nasional dan kesamaan atau perbedaan latar belakang budaya dalam sebuah
Organisasi Regional seringkali menghalangi upaya penyelesaian sengketa yang
ditangani oleh Organisasi Regional tersebut. Memang, dalam perjanjian
kerjasama mereka, hubungan negara-negara anggota terlihat kuat dan solid. Namun
pada prakteknya, kesatuan yang ada antara mereka tidak sekokoh seperti yang
tertuang dalam konstitusi mereka. Dalam kasus Falklands, negara-negara anggota
OAS yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya, lebih mendukung
Inggris daripada Argentina, yang pada akhirnya menghancurkan kebulatan suara
organisasi tersebut. Kasus lain, perbedaan latar belakang budaya -dalam hal
ini, ideologi- menyebabkan dihentikannya Pertemuan Tahunan Dewan OAU tahun
1982. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tajam yang ada antara negara-negara
anggota berhaluan moderat dengan negara-negara anggota berhaluan radikal.
Minimnya dana dan keterbatasan
sumberdaya Organisasi Regional menyebabkan Organisasi Regional menjadi sangat
bergantung pada sumberdaya yang dimiliki oleh negara anggota dalam setiap upaya
penyelesaian konflik. Hal ini jelas akan membatasi peran dan ruang gerak
Organisasi Regional tersebut. Contoh nyata dari kasus ini adalah kegagalan
pasukan penjaga perdamaian OAU yang dikirim ke Chad pada tahun 1982, di mana
kekurangan logistik dan finansial merupakan salah satu faktor utama kegagalan
misi tersebut.
Contoh organisasi Regional di Asia
1.
ASEAN : Association of South East
Asian Nation
Arti dan Makna Lambang
ASEAN
Lambang ASEAN
membawa arti ASEAN yang stabil, aman, bersatu dan dinamik. Warna logo ASEAN ada
4, yaitu biru, merah, putih, dan kuning. Warna tersebut merupakan warna utama
lambang negara-negara ASEAN. Warna biru melambangkan keamanan dan kestabilan,
Merah melambangkan semangat dan dinamisme sedangkan putih menunjukkan ketulenan
dan kuning melambangkan kemakmuran. Sepuluh tangkai padi melambangkan cita-cita
pelopor pembentuk ASEAN di Asia Tenggara, yaitu bersatu dan bersahabat. Bulatan
melambangkan kesatuan ASEAN.
Latar Belakang
Sejarah Awal Berdiri Organisasi ASEAN - Organisasi
ASEAN adalah kepanjangan dari Association of South East Asia Nations. ASEAN
disebut juga sebagai Perbara yang merupakan singkatan dari Perhimpunan
Bangsa-Bangsa Asia Tenggara. Gedung sekretarian ASEAN berada di Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, Indonesia. ASEAN didirikan tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok.
ASEAN diprakarsai oleh 5 menteri luar negeri dari wilayah Asia Tenggara, yaitu
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura :
1. Perwakilan Indonesia : Adam Malik
2. Perwakilan Malaysia : Tun Abdul Razak
3. Perwakilan Thailand : Thanat Koman
4. Perwakilan Filipina : Narcisco Ramos
5. Perwakilan Singapura : S. Rajaratnam
Sedangkan
terdapat negara-negara lain yang bergabung kemudian ke dalam ASEAN sehingga
total menjadi 11 negara, yaitu :
1. Brunei Darussalam tangal 7 Januari 1984
2. Vietnam tangal 28 Juli 1995
3. Myanmar tangal 23 Juli 1997
4. Laos tangal 23 Juli 1997
5. Kamboja tangal 16 Desember 1998
Tujuan pokok Asean adalah :
A. Menjalin saling pengertian dan hubungan persaudaraan antara negara-negara
di Asia Tenggara.
B. Memajukan kerjasama ekonomi dengan jalan membentuk pasaran bersama dan
membuat proyek bersama. Misalnya Pabrik diesel Marine di Singapura, Pabrik
Abusoda di Thailand dan sebagainya.
C. Memajukan kerjasama dalam bidang kebudayaan dengan jalan tukar menukar
kebudayaan.
D. Meningkatkan kerjasama dalam bidang Pariwisata
E. Menanggulangi masalah peredaran narkotika secara bersama-sama
F. Melaksanakan perjanjian ekstradisi antar anggota Asean.
Tujuan
di Bentuknya ASEAN
- Mempercepat
pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial buaya di kawasan Asia Tenggara.
- Memajukan
perdamaian dan stabilitas regional Asia Tenggara.
- Memajukan
kerja sama dan saling membantu kepentingan bersama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi.
- Memajukan
kerja sama di bidang pertanian, indusrti, perdagangan, pengangkutan, dan
komunikasi.
- Memajukan
penelitian bersama mengenai masalah-masalah di Asia Tenggara.
- Memelihara
kerja sama yang lebih erat dengan organisasi internasional dan regional.
Prinsip-prinsip
Utama ASEAN
- Menghormati
kemerdekaan, kedaulatan, kesamaan, integritas wilayah nasional, dan
identitas nasional setiap Negara.
- Tidak
mencampuri urusan dalam negara sesama anggota.
- Kerja
sama efektif antar anggota.
- Menolak
penggunaan kekuatan yang mematikan.
- Penyelesaian
perbedaan atau perdebatan dengan damai
Struktur ASEAN
:
Menurut KTT
ASEAN di BALI 1976 strukturnya :
- ASEAN
Summit, yaitu pertemuan para kepala pemerintahan se ASEAN. Konferensi
Tingkat Tinggi ini merupakan lembaga pembuat keputusan tertinggi dalam
ASEAN. Didahului dengan pertemuan para menteri ekonomi dan menteri luar
negeri ASEAN.
- ASEAN
Miniterial Meeting (AMM), yaitu siding para menteri luar negeri ASEAN yang
merumuskan garis kebijakan dan koordinasi kegiatan ASEAN.
- ASEAN
Economic Ministers (AEM) adalah siding para menteri ekonomi untuk
meneruskan kebijakan yang telah dirumuskan. Sidang ini 2 kali setahun.
- ASEAN
Finance Meeting (AFMM) adalah siding para menteri keuangan ASEAN merumuska
kebijakan ASEAN di bidang keuangan.
- Other
ASEAN Ministerial Meeting (OAMM) yaitu siding para menteri non ekonomi
merumuskan kebojakan selain ekonomi seperti pendidikan, keshatan
penerangan, sosbud, teknologi, ilmu pengetahuan, perburuhan.
- ASEAN
Standing Committee (ASC) komisi tetap ASEAN dipimpin oleh menteri luar
negeri dari Negara yang mendapat giliran manjadi Ketua yaitu tuan rumah
dari siding tahunan para menteri luar negeri ASEAN.
- ASEAN
Secretariat yaitu sekretaris ASEAN yang berfungsi untuk memprakarsai,
member nasehat dan pertimbangan dan mengkoordinasikan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan ASEAN.
Negara-Negara
Anggota ASEAN
Hingga
saat ini ASEAN memiliki 10 anggota yang semua anggotanya merupakan
negara-negara Asia Tenggara. Berikut ini adalah negara-negara anggota ASEAN:
1. Indonesia (negara pendiri)
2. Fillipina (negara pendiri)
3. Malaysia (negara pendiri)
4. Singapura (negara pendiri)
5. Thailand (negara pendiri)
6. Brunei Darussalam (7 Januari 1984)
7. Vietnam (28 Juli 1995)
8. Laos (23 Juli 1997)
9. Myanmar (23 Juli 1997)
10. Kamboja (30 April 1999)
Selain negara-negara anggota
tersebut, terdapat dua negara lainnya yang berstatus sebagai pemantau
(observer) yaitu:
1. Papua Nugini (1976)
2. Timor
Leste
Negara baru Timor Leste, yang dulunya merupakan sebuah
provinsi Indonesia, terpaksa harus puas dengan hanya mendapatkan status
pemantau (observer) dalam ASEAN. Itupun setelah menuai protes dari berbagai
negara ASEAN yang tidak mendukung masuknya Timor-Leste ke ASEAN, atas dasar
rasa hormat kepada Indonesia. Myanmar, terutama, menentang pemberian status
observer kepada Timor Leste karena dukungan Timor Leste terhadap pejuang
pro-demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi. Sejak kemerdekaan
Timor-Leste pada Mei 2002, ASEAN telah banyak membantu Timor-Leste. Timor-Leste
telah diundang untuk hadir dalam beberapa pertemuan ASEAN. Meskipun begitu,
Timor-Leste masih tetap berstatus observer. Mantan Menlu Timor Leste yang
sekarang menjadi Presiden, Ramos Horta, pernah menyatakan tidak berminat
menjadi anggota ASEAN, karena Timor-Leste dinilai bukan negara Asia (Tenggara),
melainkan negara Pasifik atau Australia. Berbeda dengan rekannya Xanana Gusmao
yang menyatakan bahwa akan lebih menguntungkan bagi Timor Leste apabila
berafiliasi dengan ASEAN dibandingkan dengan apabila bergabung dengan Pacific
Islands Forum.
Perkembangan terakhir mengindikasikan bahwa Timor-Leste
sangat berminat untuk menjadi anggota ASEAN. Bahkan Pemerintah Timor-Leste
melalui Kementerian Luar Negerinya telah menargetkan bahwa Timor-Leste akan
menjadi anggota ASEAN sebelum tahun 2012, hal ini sangat di dukung oleh
pemerintah Indonesia juga negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Filipina,
Malaysia, Thailand, Singapura dan lain-lain. Hal ini dapat dilihat bahwa
Pemerintah Timor-Leste juga telah membuka Sekretariat Nasional ASEAN di Dili
pada awal bulan Februari 2009, dimana sekretariat ini akan berfungsi untuk
mempersiapkan tahapan-tahapan menjadi keanggotaan ASEAN.
Ada beberapa norma dasar yang tumbuh dalam proses evolusi
ASEAN selaku organisasi regional.
Menentang
Penggunaan Kekerasan dan Mengutamakan Solusi Damai.
Berakhrinya konfrontasi dan keikutsertaan Indonesia dalam pembentukan ASEAN
merupakan blessing in disguise bagi pembentukan norma hubungan antarnegara yang
menentang penggunaan kekerasan. Walapun konfrontasi menciptakan ketegangan yang
luar biasa, keputusn Soeharto untuk menghentikan konfrontasi melegakan
Negara-negara tetangga dan memuluskan jalan menuju pembentukan organisasi
regional yang mementang prinsip penggunaan kekerasan dalam hubungan dengan
sesame anggota. Di samping itu, pembentukan ASEAN pada hakikatnya membuka jalan
bagi Indonesia untuk mendapatkan pengaruh tanpa harus menggunakan kekerasan.
Persoalan awal
yang mengiringi pertumbuhan ASEAN adalah friksi diplomatic antara Malaysia dan
Philipina. Kasus Sabah menjadi penyebab terputusnya hubungan diplomatik kedua
Negara walaupun hanya sementara. Malaysia mengancam mundur yang sudah tentu
mengancam kelangsungan hidu ASEAN yang baru berumur enam bulan. Melalui
pertemuan di Jakarta dan Bangkok Desember 1968 akhrinya sepakat menghimbau
keduan Negara untuk tidak lagi menyuarakan perbedaan pendapat mereka secara
terbuka untuk menurunkan ketegangan hubungan politik kedua Negara. Sejak bulan
Maret tahun 1969 pihak Philipina telah menyatakan kesediaan untuk tidak lagi
membicarakan isu Sabah dalam pertemuan ASEAN berikutnya.
Kemudian Mei 1969 kedua Negara akhrinay bertemu. Harapan ini terwujud pada
bulan Desember 1969, kedua Negara sepakat untuk membuka kembali hubungan
diplomatik yang terputus sejak 1968.
Cara ASEAN
menyelesaikan konflik Sabah sangat unik karena mereka lebih banyak melakukan
upaya diplomasi, tekanan, dan pencegahan sedemikian rupa sehingga di kemudian
hari rangkaian kegiatan ini dikenal sebagai ASEAN Way, yaitu kebiasaan ASEAN
dalam menyelesaikan persoalan.
Otonomi
Regional. Dalam
contoh Thailand maupun Philpina telah menjalin kerjasama keamanan denan Amerika
jauh sebelum ASAN terbentuk. Demikian pula Malaysia dan Singapura secara
historis merupakan bagian dari Negara persemakmuran Inggris. Namun Indonesia
senantiasa menentang pembentukan blok keamanan di ASEAN dan lebih cenderung
untuk bersikap non blok. Perbedaan persepsi ini tidak mengurangi motivasi
tumbuhnya prinsip lain yang bersifat mendasar bagi pertumbuhan ASEAN, yakni
otonomi regional. Menteri Luar Negeri Adam Malik mengatakan bahwa organisasi
regional semestinya menjadikan persoalan-persoalan regional sebagai perhatian
utama mereka. Penegasan ini sebagai upaya agar ASEAN tidak perlu lagi
menggantungkan diri pada Negara-negara Barat seperti Amerika dan Inggris.
Dengan demikian, ASEAN sebagai organisasi regional akan mampu mengembangkan
dirinya sebagai organisasi yang tidak mudah dipermainkan oleh Negara-negara
besar.
Tetapi semua
anggota ASEAN sepakat bahwa sebaga organisasi regional yang masih muda ASEAN
tidak mungkin menolak sepenuhnya pengaruh Negara-negara besar di kawasan Asia
Tenggara. Lee Kuan Yew, mengemukakan bahwa Negara-negara ASEAN paling tidak
dapat meminta Negara-negara besar untuk memperhatikan kepentingan mereka bukan
sebagai Negara tetapi sebagai organisasi regional. Dengan demikian, ASEAN dapat
leluasa menumbuhkan dan mengembangkan harapan mereka selaku organisasi otonom.
Prinsip otonomi
regional juga dipengaruhi oleh perubahan-perubahan global yang mengarah pada
kebutuhan masing-masing Negara untuk mengembangakan politik luar negeri mandiri
dan tidak tergantung sepenuhnya pada dukungan Negara-negara besar. Dalam
pandangan Adam Malik ketergantungan militer apada Negara besar lebih banyak
mengandung resiko dan kerugian dibandingkan denagn manfaatnya bagi pertumbuhan
bangsa yang masih labil. Mohammad Ghazali Syafie menentang campur tangan pihak
luar dalam menciptakan stabilitas internasional karena proses ini tidak mungkin
dipaksakan dari luar.
Perdana Menteri
Malaysia tahun 1970, Tun Abdul Razak memunculkan gagasan netralisasi kawasan
Asia Tenggara dalam bentuk Zon of Peace., Freedom and Neutrality (ZOPFAN).
Deklarasi ZOPFAN tahun 1971 merupakan kompromi dari berbagai pendapat Negara
anggota ASEAN khusunya Indonesia dan Malaysia. Prakarsa netralisasi ASEAN oleh
Malaysia dilatarbelakangi dengan pertimbangan politik domestic khusus kerusuhan
berdarah di Malaysia tahun 1969.
Deklarasi
ZOPFAN cenderung kompromis dan kabur untuk mewadahi berbagai pendapat Negara
anggota. Indonesia dan Malaysia semakin dekat dalam menegakan prinsip otonomi
dan menentang kehadiran Negara-negara besar di ASEAN. Sebaliknya, posisi
geografis Singapura dan Thailand merupakan alasan mengapa kedua Negara tersebut
tetap menghendaki kehadiran Amerika di Negara mereka.
Tidak
Mencampuri Urusan Internal Anggota lain. Prinsip tidak mencampuri
urusan Negara lain atau doctrine of non interfence merupakan salah satu pondasi
paling kuat menopang kelangsungan regionalism ASEAN. Dengan berlandaskan pada
doktrin ini ASEAN dapat memelihara hubungan internal sehingga menutup pintu
bagi konflik militer antar Negara ASEAN. Ancaman Komunsi di sebagian besra
Negara anggota merupakan alasan dasar mengapa Negara-negara ASEAN menganggap
ancaman domestic lebih berat dibandingkan dengan ancaman luar. Bukan tidak
mungkin bahwa kasus Vietnam menjadi pemicu mengapa ancaman internal jauh lebih
berbahaya dibandingakn dengan ancaman dari luar. Vietnam jatuh ketangan komunis
lebih disebabkan lemahnya institusi politik domestic.
Konsep “ketahanan nasional”
merupakan sumbangan Negara Indonesia dalam mengembangkan doctrine of non
interfence tersebut. Konsep ini memberikan keleluasaan Indonesia untuk
mengendaikan dan melemahkan gerakan komunis tanpa harus melibatkan campur
tangan dari luar.
Doctrine of non interfence menjadi landasan bagi Negara anggota ASEAN untuk :
1.
berusaha
agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah Negara
anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi penghalang bagi
kelangsungan organisasional ASEAN,
2.
mengingatkan
Negara anggota lain yang melanggar prinsip tersebut,
3.
menentang
pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi Negara anggota lain,
4.
mendukung
dan membantu Negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan.
Invasi Vietnam ke Kamboja tahun 1979
merupakan ujian berat bagi prinsip kedua doctrine of non interfence. ASEAN
mengingatkan bahwa tindakan Vitenam tersebut telah melanggar prinsip non
interfence. Dalam pertemuan Menteri Luar Negeri 9 Januari 1979 ASEAN akhirnya
mendesak Negara-negara Asia Tenggara agar menjaga kemerdekaan , kedaulatan, dan
system politik Negara lain dan menahan diri agar tidak melakukan campur tangan
urusan Negara lain serta tidak melakukan tindakan subversib baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Menentang
Pakta Militer dan Mendukung Kerjasama Pertahanan Bilateral
Sejak awal pembentukannya para anggota ASEAN cenderung menolak kerjasama
militer dalam kerangkan ASEAN. Perhatian awal ASEAN adalah pada isu-isu ekonomi
dan kebudayaan, walaupun isu keamanan sudah pasti mempengaruhi pembentukan
ASEAN. Sedangkan dalam isu-isu keamanan ASEAN cenderung mendukung bilateralism.
Kerjasaama bilateral dalam urusan keamanan memang tidak mungkin dihindari
karena kedekatan geografis masing-masing anggota sangat rentan terhadap isu-isu
keamanan.
Perdana Menteri Singapura mengusulkan latihan militer bersama di kalangan
Negara ASEAN. Akan tetapi baik Thailand maupun Indonesia menolak gagasan
tersebut karena kerjasama bilateral antra Negara anggota ASEAN dipandang sudah
cukup untuk memperkuat posisi keamanan masing-masing Negara anggota.
Struktrur Organisasi ASEAN
terdapat pada Deklarasi Bangkok bahwa Pertemuan Para Menteri Luar Negeri ASEAN
(ASEAN Ministerial Meeting/AMM); Sidang Panitia Tetap ASEAN (ASEAN Standing
Committee/ASC) yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri negara yang menjadi Ketua
ASC beranggotakan para Duta Besar negara anggota ASEAN yang ditempatkan di
negara yang menjadi Ketua ASC; Komite-komite permanen dan komite-komite ad-hoc;
dan Sekretariat Nasional di masing-masing negara anggota ASEAN.
2.
APEC : Asia Pasific Economic
Cooperation ( organisasi kerja samaa negara-negara kawasan Asia Pasifik di
bidang ekonomi )
Latar Belakang Berdirinya APEC
Forum
Kerjasama Ekonomi negara-negara di kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific
Economic Cooperation-APEC) dibentuk pada tahun 1989 berdasarkan gagasan Perdana
Menteri Australia, Bob Hawke. Tujuan forum ini selain untuk memperkuat
pertumbuhan ekonomi kawasan juga mengembangkan dan memproyeksikan
kepentingan-kepentingan kawasan dalam konteks multilateral. Mengingat
APEC lebih dititikberatkan pada hubungan ekonomi, maka setiap anggota,
termasuk negara, disebut sebagai entitas ekonomi. Keanggotaan APEC terdiri
dari 21 ekonomi yang terdiri dari Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile,
China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, PNG, Peru, Filipina,
Rusia, Singapura, Chinese Taipei, Thailand, AS dan Vietnam. Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh APEC Secretariat, total penduduk di wilayah
APEC mencapai 2,6 milyar dengan total GDP mencapai 57 persen (US$ 19,254
milyar) dari GDP dunia, serta total perdagangan APEC mencapai 47 persen
dari total perdagangan dunia.Dengan potensi perdagangan dan investasi yang ada
di APEC, dalam sepuluh tahun terakhir data ekonomi makro APEC telah menunjukkan
peningkatan, antara lain (i) peningkatan ekspor APEC sebesar 113 persen yang
mencapai USD 2,5 trilyun; (ii) meningkatnya pertumbuhan foreign direct
investment di APEC yaitu sebesar 210 persen untuk seluruh APEC, dan
sebesar 475 persen di ekonomi yang berpendapatan rendah, (iii) pertumbuhan GDP
sebesar 33 persen untuk seluruh APEC dan 74 persen di ekonomi yang
berpendapatan rendah.
Sebagai forum regional, APEC
memiliki karakteristik yang membedakannya dari berbagai forum kerjasama ekonomi
kawasan lainnya, yakni sifatnya yang tidak mengikat (non-binding).
Berbagai keputusan diperoleh secara konsensus dan komitmen pelaksanaannya
didasarkan pada kesukarelaan (voluntarism). Selain itu APEC juga
dilandasi oleh prinsip-prinsip konsultatif, komprehensif, fleksibel,
transparan, regionalisme terbuka dan pengakuan atas perbedaan pembangunan
antara ekonomi maju dan ekonomi berkembang. Sejak pembentukannya, berbagai
kegiatan APEC telah menghasilkan berbagai komitmen antara lain pengurangan tariff
dan hambatan non tariff lainnya di kawasan Asia-Pasifik, menciptakan kondisi
ekonomi domestik yang lebih efisien dan meningkatkan perdagangan secara
dramatis. Visi utama APEC tertuang dalam 'Bogor Goals' of free and open
trade and investment in the Asia-Pacific by 2010 for industrialised
economies and 2020 for developing economies yang diterima dan disepakati
oleh Kepala Negara dalam pertemuan di Bogor, Indonesia pada tahun 1994.
Anggota
dan Klasifikasi Negara Anggota
Pada awal
berdirinya, APEC beranggotakan dua belas negara, yaitu enam negara anggota
ASEAN dan enam mitra dialognya, seperti Jepang, Korea Selatan, Australia,
Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat. Pada tahun 1991 APEC menerima Cina,
Hongkong dan Taiwan masuk menjadi anggotanya. Dalam pertemuan di Seattle,
Kanada pada bulan November 1993, APEC memasukkan Papua Nugini dan Meksiko
sebagai anggota.Pada pertemuan di Bogor tahun 1994 anggota APEC menjadi 18
negara yaitu :
a) Indonesia j) Korea Selatan
b) Singapura k)
Selandia Baru
c) Thailand l)
Australia
d) Filipina m)
RRC
e) Malaysia n)
Taiwan
f) Brunei Darussalam o) Hongkong
g) Amerika Serikat p)
Meksiko
h) Jepang q)
Papua Nugini
i ) Kanada r)
Cile
Dari 18 negara anggota, diklasifikasikan
menjadi 4 kelompok yang didasarkan atas kemajuan ekonomi dan industri, yaitu
sebagai berikut.
a.
Negara
sangat maju : AS dan Jepang.
b.
Negara
maju : Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
c.
Negara
industri : Korea Selatan, Singapura, Taiwan dan Hongkong
d.
Negara
berkembang : Brunei Darusalam, Malaysia, Filipina, Thailand, RRC, Meksiko,
Papua Nugini, Cili, dan Indonesia.
APEC DAN PERKEMBANGANNYA
Kemajuan pesat yang dialami APEC tidak lepas dari dorongan
politis langsung yang diberikan para Pemimpin melalui APEC Economic Leaders
Meeting sejak AELM I di Blake Island, AS tahun 1993. Sejak saat itu, telah
berlangsung 12 (dua belas) kali pertemuan. Namun demikian, AELM tahun 1993-1996
merupakan tahapan-tahapan penting yang menjadi dasar kerjasama APEC. Tahapan kegiatan
APEC telah berkembang dari perumusan visi di Blake ke tahapan target dan
komitmen pada AELM II di Indonesia tahun 1994 yang mencatat momentum penting
dalam sejarah perkembangan APEC dengan disepakatinya Bogor Goals yang memuat
kerangka waktu liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh pada tahun
2010 untuk ekonomi maju, dan 2020 untuk ekonomi berkembang.
Tiga unsur kerjasama APEC, sebagaimana disebutkan dalam
Deklarasi Para Pemimpin APEC di Bogor tersebut adalah:
· strengthening the open multilateral trading system
· enhancing trade and investment liberalization in the
Asia-Pacific; dan
· intensifying Asia-Pacific development cooperation.
Dimasukkannya wacana mengenai
kerjasama pembangunan Asia Pasifik (butir 3) merupakan inisiatif Indonesia. Tujuannya,
sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Bogor, adalah untuk mendorong negara
anggota APEC untuk mengembangkan sumber daya alam maupun manusia di kawasan
Asia dan Pasifik guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
pembangunan yang merata dengan mengurangi jurang ekonomi di antara para anggota
APEC. Selanjutnya, pada Pertemuan Pemimpin APEC di Osaka, Jepang tahun 1995,
dicatat beberapa perkembangan penting di APEC, antara lain: deklarasi tiga
pilar kerjasama APEC berdasarkan Deklarasi Bogor, yaitu Liberalisasi dan
fasilitasi perdagangan dan investasi (lebih dikenal sebagai pilar TILF/Trade
and Investment Liberalization and Facilitation), serta pilar Economic
and Technical Cooperation (ECOTECH); penetapan Osaka Action Agenda (OAA),
yang merupakan cetak biru liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi
untuk mengarahkan kerjasama ekonomi dan teknik. OAA digunakan sebagai ukuran
dalam perancangan rencana kerja dan proyek-proyek APEC, dan terbagi atas:
Bagian Pertama yang memuat elaborasi kerja di bawah pilar Trade and
Investment Liberalization Facilitation (TILF); dan Bagian Kedua, yang
memuat rencana kerja dalam kerangka ECOTECH dan menetapkan bidang-bidang
kerjasama sesuai dengan Working Group.
Pada tahun 1996 di Manila, dihasilkan
pijakan penting untuk pilar ECOTECH, yaitu deklarasi para pemimpin APEC
mengenai Framework for Strengthening Economic Cooperation and
Development, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai MAPA (Manila APEC
Plan of Action). MAPA menetapkan enam wilayah prioritas kerjasama di bawah
pilar ECOTECH, yaitu:
a. pengembangan modal sumber daya
manusia,
b. menciptakan pasar modal yang aman
dan efisien,
c. memperkuat infrastruktur ekonomi,
d. merancang teknologi untuk masa
depan,
e. mendorong pembangunan berkelanjutan
yang ramah lingkungan, serta
f. membangun dasar bagi dan mendorong
pertumbuhan usaha kecil dan menengah (UKM).
Pada tahun 1997 di Vancouver,
Canada, APEC menghasilkan proposal untuk Early Voluntary Sectoral
Liberalization (EVSL) di 15 sektor dan memutuskan agar update Individual
Action Plans (IAP) atau Rencana Aksi Individu (RAI) harus dilakukan setiap
tahunnya. Pada tahun 1998 di Kuala Lumpur, Malaysia, APEC menyetujui 9
sektor EVSL dan mendorong persetujuan atas EVSL dari non-APEC members pada
tingkat World Trade Organization. Pada tahun 1999 di Auckland,
New Zealand, anggota APEC menyampaikan komitmennya untuk melaksanakan paperless
trading pada tahun 2005 untuk developed economies dan tahun 2010
untuk developing economies. Pertemuan juga menyetujui skema APEC
Business Travel Card serta menghasilkan Mutual Recognition Arrangement
on Electrical Equipment dan Framework for the Integration Women in APEC.
Pada tahun 2000 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, APEC menghasilkan electronic
Individual Action Plan (e-IAP) system yang memungkinkan pemantauan
IAP secara online sekaligus meningkatkan akses internet di kawasan APEC
tiga kali lipat hingga tahun 2005. Pada tahun 2001 di Shanghai, Republik Rakyat
Cina, APEC mengadopsi Shanghai Accord, yang terfokus pada perluasan Visi
APEC, memperjelas Roadmap to Bogor dan memperkuat mekanisme
implementasi. Pertemuan juga mengadopsi e-APEC Strategy, yang menentukan
agenda untuk memperkuat market structures and institutions, memfasilitasi
investasi infrastruktur dan teknologi untuk transaksi secara on-line serta
mendorong kewirausahaan dan capacity building. Pertemuan di Shanghai
menghasilkan Counter-Terrorism Statement APEC yang pertama dan merupakan
awal pembahasan isu keamanan dalam APEC.
Pertemuan pada tahun 2002 di Los
Cabos, Meksiko berhasil mengadopsi Trade Facilitation Action Plan, Policies
on Trade and the Digital Economy and Transparency Standards. Pertemuan
menghasilkan pula Counter-Terrorism Statement yang kedua dan mengadopsi
inisiatif Secure Trade in the APEC Region (STAR). Pada tahun 2003 di
Bangkok, Thailand, pertemuan sepakat untuk mendorong negosiasi WTO Doha
Development Agenda (WTO DDA) dan melihat bahwa Free Trade Agreements,
Regional Trade Agreements, Bogor Goals dan sistem perdagangan
multilateral di bawah skema WTO yang pada prinsipnya bersifat saling
komplementer. Pertemuan ke-12 Para Pemimpin Ekonomi APEC yang diselenggarakan
di Santiago, Chile, tanggal 20 – 21 November 2004, telah menghasilkan Deklarasi
para Pemimpin yang berjudul: Santiago Declaration: “One Community, Our
Future”. Sedangkan Pertemuan Tingkat Menteri (APEC Ministerial Meeting/AMM)
telah menghasilkan Joint Ministerial Statement AMM ke-16. Pada tahun
2005 di Busan, Korea Selatan, Para Pemimpin Ekonomi APEC sepakat untuk
meluncurkan ”Busan Roadmap to Bogor Goals”, melakuakan Mid-Term Stock Take/
evaluasi atas capaian anggota ekonomi APEC dalam merealisasikan Bogor Goals.
Selain itu, para Pemimpin Ekonomi APEC juga mengeluarkan sebuah pernyataan
bersama yang berisi dukungan kuat APEC atas penyelesaian negosiasi Doha
Development Agenda di WTO.
PERKEMBANGAN
TERAKHIR APEC
Saat ini ekonomi yang menjadi host
APEC adalah Vietnam. Tema yang diambil untuk penyelenggaraan APEC tahun ini
adalah “Towards a Dynamic Community for Sustainable Development and
Prosperity” dengan Sub Tema “Enhancing Trade and Investment with the Busan
Roadmap and Doha Development Agenda, Strengthening Economic and Technical
Cooperation for Gap Bridging and Sustainable Development, Improving Secure and
Favorable Business Environment, Promoting Community Linkages.” Sebagai
perwujudan tema tersebut, telah ditetapkan 8 prioritas APEC 2006 sebagai
berikut:
1. Mendorong kerjasama APEC untuk
meningkatkan perdagangan dan investasi, melalui:
- Dukungan APEC terhadap WTO atau
Doha Development Agenda (Support for the WTO DDA
- Pengimplementasian Busan
Roadmap to Bogor Goals
2. Meingkatkan daya saing dari Usaha
Kecil dan Menengah
3. Mendorong pemerataan kapasitas antar
anggota Ekonomi APEC melalui pembangunan sumber daya manusia, Kerjasama di
bidang IT, dan kemitraan untuk pembangunan.
4. Meningkatkan human security: Counter
terrorism, health security, Disaster Preparedness dan Energy Security.
5. Mendukung anti korupsi dan
transparansi
6. Menghubungkan anggota-anggota
Ekonomi APEC melalui pariwisata dan pertukaran kebudayaan.
7.
Mereformasi APEC menjadi organisasi yang lebih dinamis dan efektif.
8. Mendorong komunikasi lintas budaya (Cross-cultural
Communication)
KEANGGOTAAN INDONESIA
Indonesia merupakan salah satu
negara yang berperan aktif dalam pembentukan APEC maupun pengembangan
kerjasamanya. Keikutsertaan Indonesia dalam APEC sangat didorong oleh
kepentingan Indonesia untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri dalam
menghadapi perdagangan dunia yang bebas sekaligus mengamankan kepentingan
nasional RI. Kontribusi Indonesia terbesar bagi APEC adalah disepakatinya
komitmen bersama yang dikenal juga sebagai ‘Tujuan Bogor’ (Bogor Goals)
yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh pada tahun 2010 untuk
ekonomi yang sudah maju, dan tahun 2020 untuk ekonomi berkembang. Komitmen ini
menjadi dasar dalam berbagai inisiatif untuk mendorong percepatan penghapusan
tarif perdagangan maupun investasi antar anggota APEC.
MANFAAT APEC BAGI INDONESIA
1. APEC merupakan forum yang fleksibel
untuk membahas isu-isu ekonomi internasional.
2. APEC merupakan forum konsolidasi
menuju era perdagangan terbuka dan sejalan dengan prinsip perdagangan
multilateral
3. Peningkatan peran swasta dan
masyarakat Indonesia menuju liberalisasi perdagangan. Salah satu pilar APEC
yaitu fasilitasi perdagangan dan investasi secara langsung akan memberikan
dampak positif bagi dunia usaha di Indonesia yakni kemudahan arus barang dan
jasa dari Indonesia ke anggota APEC lainnya. Beberapa inisiatif APEC yang
memberikan manfaat kepada dunia usaha di Indonesia antara lain melalui
pelaksanaan APEC Business Travel Card (ABTC) serta penyederhanaan
prosedur kepabeanan.
4. Peningkatan Human and Capacity
Building Indonesia dapat memanfaatkan proyek-proyek APEC untuk peningkatan
kapasitas dan peningkatan sumber daya manusia, baik yang disponsori oleh
anggota ekonomi tertentu maupun melalui skema APEC.
5. Sumber peningkatan potensi ekonomi
perdagangan dan investasi Indonesia Pembentukan APEC telah memberikan manfaat
terhadap peningkatan arus barang, jasa maupun pertumbuhan ekonomi negara
anggota APEC. Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan potensi pasar APEC
bagi peningkatan ekspor maupun arus investasi, khususnya karena mitra dagang
utama Indonesia sebagian besar berasal dari kawasan APEC.
6. APEC sebagai forum untuk bertukar
pengalaman Forum APEC yang pada umumnya berbentuk “policy dialogue” memiliki
manfaat yang sangat besar terutama untuk menarik pelajaran dan pengalaman
positif maupun negatif (best practices) anggota APEC lainnya dalam hal
pengambilan dan pembuatan kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi.
7. Memproyeksikan
kepentingan-kepentingan Indonesia dalam konteks ekonomi internasional
8. APEC merupakan salah satu forum yang
memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan
mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan
terbuka.
Prinsip ASEAN
dan Sikap Indonesia
Prinsip ASEAN terhadap APEC adalah sebagai berikut:
a. Setiap peningkatan kerja
sama di kawasan Asia-Pasifik, hendaknya identitas, kepentingan, dan persatuan
ASEAN tetap dipertahankan.
b. Kerja sama hendaknya
didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan, keadilan, dan keuntungan bersama.
c. Hendaknya kerja sama tidak
diarahkan pada pembentukan blok perdagangan yang tertutup (inward looking
economic or trading block).
d. Hendaknya kerja sama
ditujukan untuk memperkuat kemampuan individual dan kolektif para peserta.
e. Hendaknya pertumbuhan kerja
sama dikembangkan secara bertahap dan pragmatis
Sedangkan sikap Indonesia
terhadap keberadaan APEC adalah menyambut era perdagangan bebas dengan tangan
terbuka. Perdagangan bebas menuntut produk-produk berkualitas, memiliki daya
saing tinggi dan mampu menembus pasaran dunia. Untuk mempersiapkan era pasar
bebas tersebut, maka langkah pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Meningkatkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal.
2.
Meningkatkan
mutu produk-produk agar mampu menembus pasaran dunia dan mampu bersaing.
3.
Meningkatkan
budaya ACI (Aku Cinta Indonesia), yaitu menumbuhkan mentalitas di kalangan
rakyat Indonesia dari kalangan bawah, menengah dan atas agar mencintai segala
produksi dalam negeri.
4.
Meningkatkan
semangat nasionalisme agar tidak terbawa arus globalisasi agar tercipta
modernisasi bukan westernisasi.
5.
Meningkatkan
semangat juang dan pantang menyerah untuk membangun bangsa dan negara
Peran yang dimainkan oleh
organisasi-organisasi regional sangat berbeda bergantung pada karakteristik
organisasi tersebut. Karakteristik ini dipengaruhi oleh faktor geografis,
ketersediaan sumber-sumber dan struktur organisasi. Perbedaan faktor-faktor ini
akan mempengaruhi bentuk Organisasi Regional dan organ-organ yang menopangnya.
Perbedaan karakter ini juga nantinya akan berpengaruh pada mekanisme dan
prosedur penyelesaian konflik yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara
anggota dalam sebuah Organisasi Regional.
Daftar
pustaka