Sabtu, 01 Maret 2014

jenis-jenis variabel dan cara mengukurnya

Nama                   : Kartika S. Berlian
NIM            : 4915122550
Prodi           : Pendidikan IPS A 2012
Dosen                   : Dr. Nusa Putra, S.Fil., M.Pd
Mata Kuliah         : Metodologi Penelitian Pendidikan


Pengertian Variabel
Variabel Penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2007)
Secara Teoritis, para ahli telah mendefinisikan Variable sebagai berikut :
Kerlinger (1973)
·         Variable adalah konstruk (constructs) atau sifat yang akan dipelajari.
Misalnya : tingkat aspirasi, penghasilan, pendidikan, status social, jenis kelamin, golongan gaji, produktifitas kerja, dll.
·         Variable dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu nilai yang berbeda (different values).
Dengan demikian, Variabel itu merupakan suatu yang bervariasi.
Dr. Ahmad Watik Pratiknya (2007)
Variable adalah Konsep yang mempunyai variabilitas. Sedangkan Konsep adalah penggambaran atau abstraksi dari suatu fenomena tertentu. Konsep yang berupa apapun, asal mempunyai ciri yang bervariasi, maka dapat disebut sebagai variable.
Dengan demikian, variable dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang bervariasi.


Dr. Soekidjo Notoatmodjo (2002)
Variable mengandung pengertian ukuran atau cirri yang dimiliki oleh anggota – anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok yang lain.
Variable adalah sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang sesuatu konsep pengertian tertentu.
Misalnya : umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit, dsb.

Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, maka dapat dirumuskan
definisi Varibel Penelitian Adalah :
“ Suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya”

Kegunaan Variabel Penelitian
ü  Untuk mempersiapkan alat dan metode pengumpulan data.
ü  Untuk mempersiapkan metode analisis/pengolahan data.
ü  Untuk pengujian hipotesis
Variabel Penelitian yang baik :
Ø  Relevan dengan tujuan penelitian.
Ø  Dapat diamati dan dapat diukur.

Dalam suatu penelitian, variebel perlu Diidentifikasi, Diklasifikasi dan Didefinisikan secara operasional dengan jelas dan tegas agar tidak menimbulkan kesalahan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta dalam pengujian hipotesis.


Jenis – jenis Variabel Penelitian
Dalam terminologi Metodologik, dikenal beberapa macam variabel penelitian. Berdasarkan hubungan antara satu variable dengan variable yang lain, maka macam – macam variabel dalam penelitian dapat dibedakan menjadi:
1.      Variabel independent
Variable ini sering disebut sebagai Variabel Stimulus, Variabel Pengaruh, atau Variable Bebas. Variabel Bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel Dependen (terikat). Dinamakan sebagai Variabel Bebas karena bebas dalam mempengaruhi variabel lain.
Contoh :
“Pengaruh Therapi Musik terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan…”
Variable independent / bebas
2.      Variabel Dependen
Sering disebut sebagai Variabel Efek, Variabel Terpengaruh, Variabel Terikat atau Variabel Tergantung. Variabel Terikat merupakan Variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Disebut Variabel Terikat karena variabel ini dipengaruhi oleh variabel bebas/variabel independent.
Contoh :
“Pengaruh Therapi Musik terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan…”
Variable dependen / terikat
3.      Variable moderator
Variabel Moderator adalah variabel yang mempengaruhi (Memperkuat dan Memperlemah) hubungan antara Variabel Bebas dan Variabel Terikat.
Contoh: Hubungan Variabel Independen – Moderator – Dependen :
Hubungan motivasi dan prestasi belajar akan semakin kuat bila peranan dosen dalam menciptakan iklim/lingkungan belajar sangat baik, dan hubungan semakin rendah bila peranan dosen kurang baik dalam menciptakan iklim belajar.
4.      Variable intervening
Dalam hal ini Tuckman (1988) menyatakan “an intervening variable is that factor that theoretically affect the observed phenomenon but cannot be seen, measure, or manipulate”. Variabel Intervening adalah Variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara Variabel Bebas dengan Variabel Terikat, tetapi Tidak Dapat Diamati dan Diukur. Variabel ini merupakan variabel Penyela/Antara yang terletak diantara Variabel Bebas dan Variabel Terikat, sehingga Variabel Bebas tidak secara langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya Variabel Terikat.
Contoh :
Tinggi rendahnya penghasilan akan mempengaruhi secara tidak langsung terhadap umur harapan hidup. Di sini ada varaibel antaranya yaitu yang berupa Gaya Hidup seseorang. Antara variabel penghasilan dan gaya hidup terdapat variabel moderator yaitu Budaya Lingkungan Tempat Tinggal.
5.      Variable control
Variabel Kontrol adalah Variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh factor luar yang tidak diteliti. Variabel Kontrol sering dipakai oleh peneliti dalam penelitian yang bersifat membandingkan, melalui penelitian eksperimental.
Contoh :
Pengaruh Metode Pembelajaran terhadap Penguasaan Keterampilan Pertolongan. Variabel Bebasnya adalah Metode Pembelajaran, misalnya Metode Ceramah & Metode Demonstrasi. Sedangkan Variabel Kontrol yang ditetapkan adalah sama, misalnya Standard Keterampilan sama, dari kelompok mahasiswa dengan latar belakang sama (tingkat/semesternya sama), dari institusi yang sama. Dengan adanya Variabel Kontrol tersebut, maka besarnya pengaruh Metode Pembelajaran terhadap Penguasaan Keterampilan dapat diketahui lebih pasti.
Pengukuran Variabel
Pengukuran Variabel Penelitian dapat dikelompokkan menjadi 4 Skala Pengukuran, yaitu :
a)      Skala Nominal
Skala Nominal Adalah Suatu himpunan yang terdiri dari anggota – anggota yang mempunyai kesamaan tiap anggotanya, dan memiliki perbedaan dari anggota himpunan yang lain.
Misalnya :
Jenis Kelamin : dibedakan antara laki – laki dan perempuan.
Pekerjaan : dapat dibedakan petani, pegawai, pedagang.
Golongan Darah : dibedakan atas Gol. 0, A, B, AB.
Ras : dapat dibedakan atas Mongoloid, Kaukasoid, Negroid.
Suku Bangsa : dpt dibedakan dalam suku Jawa, Sunda, Batak dsb.
Skala Nominal, Variasinya tidak menunjukkan Perurutan atau Kesinambungan, tiap variasi berdiri sendiri secara terpisah. Dalam Skala Nominal tidak dapat dipastikan apakah kategori satu mempunyai derajat yang lebih tinggi atau lebih rendah dari kategori yang lain ataukah kategori itu lebih baik atau lebih buruk dari kategori yang lain:
b)     Skala Ordinal
Skala Ordinal Adalah skala variabel yang menunjukkan tingkatan – tingkatan.Skala Ordinal Adalah Himpunan yang beranggotakan menurut rangking, urutan, pangkat atau jabatan.Skala Ordinal adalah Kategori yang dapat diurutkan atau diberi peringkat.
Skala Ordinal adalah Skala Data Kontinum yang batas satu variasi nilai ke variasi nilai yang lain tidak jelas, sehingga yang dapat dibandingkan hanyalah nilai tersebut lebih tinggi, sama atau lebih rendah daripada nilai yang lain.
Contoh :
Tingkat Pendidikan : dikategorikan SD, SMP, SMA, PT.
Pendapatan : Tinggi, Sedang, Rendah.
Tingkat Keganasan Kanker : dikategorikan dalam Stadium I, II, dan III. Hal ini dapat dikatakan bahwa : Stadium II lebih berat daripada Stadium I dan Stadium III lebih berat daripada Stadium II. Tetapi kita tidak bisa menentukan secara pasti besarnya perbedaan keparahan itu.
Sikap (yang diukur dengan Skala Linkert) : Setuju, Ragu – ragu, Tidak Setuju.
c)      Skala Interval
Skala Interval Adalah Skala Data Kontinum yang batas variasi nilai satu dengan yang lain jelas, sehingga jarak atau intervalnya dapat dibandingkan. Dikatakan Skala Interval bila jarak atau perbedaan antara nilai pengamatan satu dengan nilai pengamatan lainnya dapat diketahui secara pasti. Nilai variasi pada Skala Interval juga dapat dibandingkan seperti halnya pada skala ordinal (Lebih Besar, Sama, Lebih Kecil..dsb); tetapi Nilai Mutlaknya TIDAK DAPAT DIBANDINGKAN secara Matematis, oleh karena itu batas – batas Variasi Nilai pada Skala Interval bersifat ARBITRER (ANGKA NOL-nya TIDAK Absolut).
Contoh :
Temperature / Suhu Tubuh : sebagai skala interval, suhu 360Celcius jelas lebih panas daripada suhu 240Celcius. Tetapi tidak bisa dikatakan bahwa suhu 360Celcius 1½ kali lebih panas daripada suhu 240Celcius. Alasannya : Penentuan skala 00Celcius Tidak Absolut (=00Celcius tidak berarti Tidak Ada Suhu/Temperatur sama sekali).
Tingkat Kecerdasan,
Jarak, dsb.
d)      Skala Ratio = Skala Perbandingan.
Skala Ratio Adalah Skala yang disamping batas intervalnya jelas, juga variasi nilainya memunyai batas yang tegas dan mutlak ( mempunyai nilai NOL ABSOLUT )
Misalnya :
Tinggi Badan : sebagai Skala Ratio, tinggi badan 180 Cm dapat dikatakan mempunyai selisih 60 Cm terhadap tinggi badan 120 Cm, hal ini JUGA dapat dikatakan Bahwa : tinggi badan 180 adalah 1½ kali dari tinggi badan 120 Cm.
Denyut Nadi : Nilai 0 dalam denyut nadi dapat dikatakan Tidak Ada Sama Sekali denyut nadinya.Berat Badan.Dosis Obat, dsb.

Dari uraian di atas jelas bahwa Skala Ratio, Interval, Ordinal dan Nominal berturut – turut memiliki nilai kuantitatif dari yang Paling Rinci ke yang Kurang Rinci. Skala Ratio mempunyai sifat – sifat yang dimiliki Skala Interval, Ordinal dan Nominal. Skala Interval memiliki ciri – ciri yang dimiliki Skala Ordinal dan Nominal, sedangkan Skala Ordinal memiliki sifat yang dimiliki Skala Nominal.
Adanya perbedaan tingkat pengukuran memungkinkan terjadinya Transformasi Skala Ratio dan Interval menjadi Ordinal atau Nominal. Transformasi ini dikenal sebagai Data Reduction atau Data Collapsing. Hal ini dimaksudkan agar dapat menerapkan metode statistic tertentu, terutama yang menghendaki skala data dalam bentuk Ordinal atau Nominal.
Sebaliknya, Skala Ordinal dan Nominal tidak dapat diubah menjadi Interval atau Ratio. Skala Nominal yang diberi label 0, 1 atau 2 dikenal sebagai Dummy Variable (Variabel Rekayasa). Misalnya : Pemberian label 1 untuk laki – laki dan 2 untuk perempuan tidak mempunyai arti kuantitatif (tidak mempunyai nilai / hanya kode). Dengan demikian, perempuan tidak dapat dikatakan 1 lebih banyak dari laki – laki. Pemberian label tersebut dimaksudkan untuk mengubah kategori huruf (Alfabet) menjadi kategori Angka (Numerik), sehingga memudahkan analisis data. (Cara ini dijumpai dalam Uji Q Cochran pada Pengujian Hipotesis).


Teori Evolusi (Mata Kuliah Teori Sosial Budaya)

BAB I

PENDAHULUAN


1.1  LATAR BELAKANG

Seiring dengan perkembangan zaman kebiasaan hidup setiap individu maupun kelompok akan menyesuaikan diri terhadap perubahan, baik itu perubahan secara lambat (evolusi) ataupun perubahan secara cepat (revolusi). Namun  pada hakikatnya tidak ada perubahan yang terjadi secara instan tetapi  pastinya suatu perubahan itu akan membutuhkan proses yang lama. Sehingga dalam  proses perubahan (evolusi) tersebut  terdapat  tahap-tahap dari teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam kesempatan kali ini, kita akan mencoba menguraikan berbagai penjelasan mengenai  pengertian dan prinsip-prinsip dasar evolusionisme, beberapa teori tentang evolusi seperti evolusi sosial universal, kebudayaan, religi, dan keluaraga melalui makalah dan diskusi kelompok di dalam kelas

1.2  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dengan demikian telah dapat kita rumuskan berbagai permasalahan yang akan menjadi subpokok bahasan, yaitu:
2.      Apa definisi dan pengertian evolusionisme?
3.      Apa saja prinsip-prinsip dasar evolusionisme?
4.      Sebutkan dan jelaskan dari beberapa teori evolusi !
5.      Bagaimana sejarah berkembangnya teori evolusi ?

        1.3 TUJUAN

Tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain ;
1.      Mengetahui berbagai definisi dan pengertian evolusionisme
2.      Mengetahui berbagai macam  prinsip-prinsip dasar evolusionisme
3.      Mengetahui beberapa teori evolusi, serta
4.      Mengetahui sejarah  perkembangan teori evolusi tersebut
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DESKRIPSI TEORI

2.1.1 PENGERTIAN  TEORI EVOLUSI
          Teori Evolusi menganggap bahwa keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, logika atau makna unik yang melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan. Rekontruksi memberikan pemahaman tentang sejarah masa lalu dan membuka jalan untuk memprediksi masa depan. Obyek yang mengalami perubahan adalah keseluruhan  manusia. Evolusi juga merupakan perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu alamiah, terjadi dimana saja, niscaya dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realita sosial.[1] Masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan secara dinamis.
                Perubahan evolusi dibayangkan berpola unilinier, mengikuti pola atau lintasan tunggal dan dilakukan secara bertahap,terus-menerus, meningkat dan komulatif. Evolusi mempunyai penyebab yang bisa menggerakkan proses kedepan seperti mendorong perubahan evolusi.  Perubahan evolusi adalah sifat masyarakat yang mempunyai kebutuhan dasar “Perubahan”. Perubahan evolusi juga dianggap spontan karena terjadi secara tidak sengaja yang tidak disadari oleh anggota masyarakat sekitarnya. Perubahan evolusi dianggap dengan kemajuan, menghasilkan perbaikan, kehidupan manusia yang lebih baik.
                Menurut kerangka berpikir evolusi, masyarakarat dan kebudayaan manusia telah berkembang dari tingkat yang rendah pada tingkat yang tinggi, terdorong oleh kekuatan dari dalam untuk berevolusi. Proses perkembangan itu melalui tingkat-tingkat tertentu, dan tingkatan itu akan dialami oelh semua kelompok manusia. Menurut aliran evolusi kebudayaan, semua masyarakat dan kebudayaan mengalami kemajuan atau berkembang secara progresif, adapun jalan yang ditempuhnya bersifast uniline.
      Jika ditinjau dari sudut pandang evolusi, manusia yang sederhana kebudayaannya dan manusia yang sudah kompleks atau moder tidak berbeda secara kualitatif, melaikan berbeda secara graduil, terutama dalam alam pikirannya. Perbedaan terebut disebabkan oleh perkembangan yang lebih intensif dari potensi mental dan intelegensi manusianya sendiri. Dengan cara kerja seperti ini, maka tiap-tiap kebudayaan yang ada di dunia dapat ditempatkan di tempatnya masing-masing dan dapat diramalkan tingkat yang didudukinya kemudian. Dengan menggunakan kriteria psychologi rasional dapatlah disusun sejarah kebudayaan manusia tanpa menggunakan bahan-bahan tertulis, karena anggapan dasar yang dipergunakan oleh teori ini adalah, bahwa semakin rasional manusia itu, semakin tinggi pula kedudukannya di dalam tangga evolusi.
a.  Asal mula teori evolusi
Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di abad ke 19. Paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui faktor-faktor materi. Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa segala sesuatu yang hidup ataupun tak hidup, hal tersebut muncul tidak melalui pencipta tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraruran. Filsafat materialistis, yang bertantangan dengan karakteristik paling mendasar akal manusia ini, memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan abad ke 19. Serta Teori Evousi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang menyesatkan sebagian besar manusia.
Namun demikian, Charles Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti  menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi. Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan eksistensinya di alam.
          Teori evolusi ini sangat sulit untuk meninggalkan teori Darwinisme yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, tetapi dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak terkecuali teori Darwin yang sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan penelitian terbaru seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Karena ilmu pengetahuan pada zaman  modern sekarang ini berkembang dengan sangat pesat, bukan hanya dalam hitungan tahun dan bulan, tetapi dalam hitungan hari dan bahwa teori evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan
2.1.2  PRINSIP-PRINSIP EVOLUSI
Berbagai macam teori evolusi yang dicetuskan oleh para tokoh tersebut, akan menjadi dasar pemikiran tentang evolusi selanjutnya. Proses evolusi dapat dibedakan atas dasar faktor-faktor berikut.[2]
1.    Evolusi Berdasarkan Arahnya
Berdasarkan arahnya evolusi dibedakan menjadi dua:
a.       Evolusi Progresif
Evolusi progresif merupakan evolusi menuju pada kemungkinan yang dapat bertahan hidup (survival). Proses ini dapat dijumpai melalui peristiwa evolusi yang terjadi pada burung Finch.
b.       Evolusi Regresif
Evolusi regresif merupakan proses menuju pada kemungkinan kepunahan. Hal ini dapat dijumpai melalui peristiwa evolusi yang terjadi pada hewan dinosaurus.
2.    Evolusi Berdasarkan Skala Perubahannya
Berdasarkan skala perubahannya, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a.       Makroevolusi
Makroevolusi adalah perubahan evolusi yang dapat mengakibatkan perubahan dalam skala besar. Adanya makroevolusi dapat mengarah kepada terbentuknya spesies baru.
b.       Mikroevolusi
Berkebalikan dengan makroevolusi, mikroevolusi adalah proses evolusi yang hanya mengakibatkan perubahan dalam skala kecil. Mikroevolusi ini hanya mengarah kepada terjadinya perubahan pada frekuensi gen atau kromosom.
3.    Evolusi Berdasarkan Hasil Akhir
Berdasarkan hasil akhir, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a.       Evolusi Divergen
Evolusi divergen merupakan proses evolusi yang perubahannya berasal dari satu spesies menjadi banyak spesies baru. Evolusi divergen ditemukan pada peristiwa terdapatnya lima jari pada vertebrata yang berasal dari nenek moyang yang sama dan sekarang dimiliki oleh bangsa primata dan manusia.
b.       Evolusi Konvergen
Evolusi konvergen adalah proses evolusi yang perubahannya didasarkan pada adanya kesamaan struktur antara dua organ atau organisme pada garis sama dari nenek moyang yang sama. Hal ini dapat ditemukan pada hiu dan lumba-lumba. Ikan hiu dan lumba-lumba terlihat sama seperti organisme yang berkerabat dekat, tetapi ternyata hiu termasuk dalam pisces, sedangkan ikan lumba-lumba termasuk dalam mamalia.



2.1.3        PROSES EVOLUSI SOSIAL SECARA UNIVERSAL
Etnografi dan etnografika telah  menimbulkan suatu kesadaran di antara para cendekiawan dan para ahli filsafat di Eropa Barat mengenai besarnya keanekaragaman dari ciri-ciri ras, bahasa, dan kebudayaan umat manusia di dunia. Di samping itu kerangka cara berpikir evolusionisme universal tidak hanya diterapkan dalam ilmu biologi saja, tetapi juga telah menyebabkan timbulnya konsepsi tentang proses evolusi sosial secara universal. Konsepsi itu terutama dalam bagian kedua abad ke-19 sangat mempengaruhi cara berpikir para cendekiawan para ahli hukum, para ahli sejarah kebudayaan , para ahli folklor, dan ahli filsafat mengenai beberapa soal, misalnya soal asal-mula dan evolusi kelompok keluarga, asal-mula dan evolusi konsep hak milik, asal-mula dan evolusi negara, asal mula dan evolusi religi dan sebagainya.
Menurut konsepsi tentang proses evolusi sosial universal semua hal tersebut harus dipandang dalam rangka masyarakat manusia yang telah berkembang dengan lambat (berevolusi) dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ke tingkat –tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplex.[3] Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di muka bumi, walalupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pada masakini masih ada juga kelompok-kelompok manusia hidupdalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berubah dari sejak zaman makhluk manusia baru timbul di muka bumi, artinya mereka baru berada pada tingkat-tingkat permulaan dari proses evolusi sosial mereka. Bangsa-bangsa lain berada pada tingkat-tingkat pertengahan dari proses itu, sedangkan ada pula bangsa-bangsa yang telah mencapai tingkat evolusi sosial yang tertinggi, yaitu bangsa-bangsa di Eropa Barat.
Diantara para cendekiawan dan ahli filsafat sosial yang telah menulis berbegai karangan  yang berusaha mendeskripsi jalannya proses evolusi sosial itu, ada beberapa yang secara luas dan sangat sistematis telah mempergunakan bahan etnografi dan etnografika itu. Terbitnya karya-karya mereka itulah yang dapat kita anggap sebagai permulaan dari adanya ilmu antropologi di dunia ilmiah. Karya-karya ahli filsafat H. Spencer, para ahli hukum J.J. Bachofen, H. Maine dan L.H. Morgan, ahli sejarah kebudayaan E. B. Tylor dan ahli folklor J. Frazer itu, akan dibicarakan dengan lebih men dalam dalam sub-sub bab di bawah ini
2.1.4        KONSEP EVOLUSI SOSIAL-UNIVERSAL H. SPENCER
Ahli filsafat Inggris H. Spencer (1820-1903) bersama dengan ahli filsafat  Perancis A. Comte termasuk aliran cara berpikir  positivisme, yaitu aliran dalam ilmu filsafat  yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi masyarakat manusia.[4] Agak berbeda dengan A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan etnografi dan etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Maka walaupun dalam tulisan-tulisannya ia selalu menyebut ilmu pengetahuan yang dilaksanakannya itu “ilmu sosiologi”, yaitu istilah yang diciptakan oleh A. Comte, ia dapat juga kita anggap salah seorang tokoh utam dalam timbulnya ilmu antropologi.
Semua karya Spencer  berdasarkan konsepsi bahwa seluruh alam itu, baik yang terwujud nonorganis, organis, maupun superorganis, berevolusi karena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi universal (Spencer 1876:I, 434). Ia menghasilkan suatu buku raksasa yang bermaksud melukiskan proses evolusi universal itu di antara semua bangsa di dunia. Secara garis besar Spencer melihat perkembangann masyarakat  dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang berbeda-beda.
Sebuah contoh dari teori Spancer mengenai asal-mula religi. Pangkal pendirian menganai hal itu adalah bahwa semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E.B. Tylor, ia juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia akan berevolusi ke bentukk religi  yang menurut Spencer merupakan tingkat evolusi yang lebih komplex, dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewi kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa maut dan sebagainya. Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah berada dalam bentuk tulisan. Namun, walaupun religi dari semua bangsa di dunia garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingat penyembahan roh nenek moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus tiap bangsa dapat mengalami proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh lain yaitu anggapan Spencer tentang perbedaan antara proses evolusi universal yang seragam dan proses evolusi  khusus yang berbeda-beda, tampak dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer berpendirian bahwa hukum dalam masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum keramat, karena merupakan aturan-aturan hidup dan bergaul, yang berasal dari pada nenek moyang. Dengan demikian kekuatan dari hukum dalam masyarakat pada zaman permulaan itu. Secara sosiologi, maka ketaatan warga masyarakat pada zaman itu kepada aturan-aturan yang mereka anggap berasal dari para nenek moyang itu adalah karena mereka saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Azas timbal balik inilah yang menjaga bahwa seorang individu tidak akan merugikan atau berbuat jahat terhadap sesamanya.
Pada tingkat evolusi sosial, waktu timbul masyarakat  beragama, maka masyarakat telah menjadi sedemikian besarnya hingga kekuasaan otoriter raja pun tidak lagi cukup. Kekuasaan itu perlu dibantu dengan sifat  keramat raja. Karena itu ditanamkan keyakinan pada warga masyarakat bahwa raja adalah keturunan dan bahwa hukum yang dipelihara adalah hukum keramat.
Pada tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat industri, dimana manusia menjadi bersifat  lebih individualis, dan dimana kekuasaan raja dan keyakinan terhaddap raja keramat berkurang. Maka timbul lagi suatu sistem hukum yang baru, yang kembali berdasarkan azas saling butuh-membutuhkan antara warga masyarakat secara  timbal-balik. Prosedur terjadinya undang-undang adalah dengan perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan-badan legislatif. Dalam maslah tersebut terakhir Spencer sempat mangajukan juga pandangannya mengenai proses evolusi pada umumnya.manurut Spencer, seperti dalam evolusi biologi di mana jenis-jenis mahkluk yang bisa hidup langsung itu adalah jenis-jenis yang paling cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya, maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka hidup, yaitu : kebutuhan  warga masyakat yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest “, yaitu daya tahan dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya.
2.1.5  TEORI EVOLUSI KELUARGA J.J. BACHOFEN
J.J. Bachofen adalah ahli hukum Jerman terbentuknya teori tentang evolusi bentuk keluarga  yang diuraikan dalam bukunya Das Mutterrecht (1861) dengan banyak bahan bukti  yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Yunani dan Rum Klasik, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga  manusia berkembang  mlelalui empat tingkat evolusi.[5] Dalam zaman yang telah jauh lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, di mana manusia hidup hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat bellum ada pada waktu itu. Keadaan inti dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam  masyarakat,  karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak menganal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari, dengan demikian timbul adat exogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi itu menjadi luas karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam pproses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat kemudian terjadi karena para pria tak luas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon isteri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompom pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepala, dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah  keadaan partriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok yaitu exogami, berubah menjadi endogami karenna berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak sekaranga senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriachate lambat laun hilang dan berubah menjadi  suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
2.1.6  TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN DI INDONESIA
G.A. Wilken merumuskan teori-teori tentanng sejumlah gejala kebudayaan dan kemasyarakatannya,misalnya tektonimi (1875), tentang hakekat maskawin, yang menurut wilken pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian antara pengantin pria dan wanita setelah berlangsung kawin lari, suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan antara matriarkhat ke tingkat patriarkhat (1880 : 662, 665-659, 662-664) dan tentang sejumlah masalah serta gejala sosial dan kebudayaan lain.[6] Pada umumnya masalah-masalah serta gejal-gejala masyarakat dan kebudayaan ini selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi keluarga, anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E.B. Tylor.
    
2.1.7   TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN L.H. MORGAN
Lewis H. Morgan (1818-1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di antara suku-suku bangsa Indian. Ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan orang-orang Indian itu. Karangan-karangannya tentang orang iroquois itu terutama berpusat kepada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem kekerabatan, dan dalam hal ini Morgan terutama berpusat kepada soal-soal susunan kemasyarkatan dan sistem kekerabatan kepada ilmu antropologi pada umumnya. Dalam memperhatikan sistem kekerabatan tersebut Morgan mempunyai cara untuk mengupas semua sistem diambil dari gejala kesejajaran yanng seringkali ada di antara sistem istilah kekerabatan dan sistem kekerabatan. Menurut Morgan, masyarakat dari semua bangsa di dunia sudah atau masih akan menyelesaikan proses evolusinya melalui kedelapan tinngkat evolusi sebagai berikut :[7]
1.          Zaman Liar Tua, yaitu zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api, dalam zaman ini manusia hidup dari meramu, mencari akar-akar dan tumbuh-tumbuha liar.
2.          Zaman Liar Madya, yaitu zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur-panah, dalam zaman ini manusia mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi pencari ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu.
3.          Zaman Liar Muda, yaitu zaman sejak manusia menemukan senjata busur-panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat barang-barang tembikar, dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih berburu.
4.          Zaman Barbar Tua, yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai berternak atau bercocok tanam.
5.          Zaman Barbar Madya yaitu zaman sejak manusia berternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam.
6.          Zaman Barbar Muda yaitu zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai ia mengenal tulisan.
7.          Zaman Peradaban Purba
8.          Zaman Peradaban Masakini.
     Rangka mengenai kedelapan tingkat evolusi tersebut di atas oleh Morgan dipakai untuk menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsure-unsur kebudayaan dari berbagai suku bangsa Indian  di Amerika Serikat, dari penduduk asli Australi, dari bangsa-bangsa Yunani dan Rum Klasik dan dari beberapa bangsa di Eropa sekarang. Walaupun demikian kita jangan menyangka bahwa Morgan sama sekali mengabaikan kekhususan dan keistimewaan dari perkembangan tiap masyarakat atau mengabaikan gejala pengaruh luar, tetapi mengenai beberapa unsure yang terpenting seperti mata pencaharian hidup dan susunan masyarakat, tiap masyarakat di dunia melewati kedelapan tingkat evolusi tersebut.
Teori Morgan mengenai evolusi kebudayaan mendapat kecaman yang sangat tajam dari para ahli antropologi di Inggris dan Amerika pada awal abad ke-20 ini, dan walaupun ia seorang warganegara Amerika yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indian, ia toh tidak di anggap sebagai pendekar ilm antropologi Amerika. Tetapi L.H. Morgan sampai sekarang masih dihormati sebagai tokoh pendekar ilmu antropologi di Uni Sovyet yang disebabkan karena teorinya mengenai evolusi kebudayaan itu sangat cocok dengan ajaran K. Marx dan F. Engels mengenai evolusi masyarakat manusia, dan juga cocok dengan gagasan kedua tokoh pendekar komunis yang tercantum dalam Manifesto Komunis (1848) mereka itu. Teori Morgan kemudian menjadi terkenal di kalangan cendikiawan komunis berkat F. Engels yang sebagai seorang pengarang bergaya lancar, telah berfungsi membuat populer gagasan-gagasan Marx yang sering terlalu ilmiah sifatnya itu.

             2.1.8 TEORI EVOLUSI RELIGI
A.           TEORI EVOLUSI RELIGI E.B. TYLOR
Edward B. Tylor (1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesustateraan dan peradaban Yunani dan Rum Klasik, dan baru kemudian tertarik akan ilmu arkeologi. Menurut uraiannya sendiri, seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beraneka ragam di dunia, mencari unsure-unsur persamaan itu sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu sendiri dari satu tingkat ke tingkat yang lain.
     Suatu penelitian serupa itu dilakukan sendiri dengan mangambil sebagai pokok, unsure-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesustateraan, adat-istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting yaitu dua jilid  Primitive Culture : Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia juga mengajukan teorinya tentang asal-mula religi yang berbunyi sbb : Asal mula religi adalah kesadaran manusia kan adanya jiwa. Kesadaran akan faham jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu :[8]
1)              Perbadaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Dan manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu yaitu jiwa.
2)              Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain bukan di tempat di mana ia sedang tidur. Maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.

Sifat bastrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup langsung , lepas dari tubuh jasmaninya. Pada waktu hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu manusia tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh berada dalam keadaan lemah. Tetapi Taylor berpendirian bahwa walaupun sedang melayang hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia mati, jiwanya melayang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan jasmani untuk selama-lamanya. Jiwa yang telah merdeka dan terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh Taylor tidak disebut soul, atau jiwa lagi tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.
Pada tingkat tertua dalam evolusi religinya, manusia percaya bahwa makhluk-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk-makhluk yang bertubuh halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia, yang tidak dapat tertangkap leh pancaindera manusia, yang mampu berbuat yang tidak dapat dilakukan manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai berbagai upacara berupa doa, sajian, atau korban. Religi serupa itulah yang oleh Taylor disebut animism.
Kemudian Tylor melanjutkan teorinya tentang asal mula religi yang berdasarkan cara berfikir evolusionalisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan kepada roh-roh yang mendiam alam semesta sekeliling tempat tinggal manusia, merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya jiwa di belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Gunung-gunung meletus, gempa bumi, angin topan, gerak matahari, dan seluruh gerak alam, disebabkan oleh makhluk-makhluk halus yang menempati alam.
Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan, serupa dengan manusia. Maka terdapat pula suatu susunan pangkat dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa tertinggi sampai dewa-dewa yang terendah pangkatnya. Susunan tersebut menjadikan manusia berfikir dan menarik kesimpulan bahwa semua dewa itu adalah penjelmaan dari satu dewa saja. Akibat dari keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan bahwa Tuhan itu satu, dan timbulnya religi-religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.
Penelitian Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia telah menimbulkan adanya konsep survivals. Tylor memecahkan suatu persoalan dengan suatu pendirian bahwa unsure-unsur itu adalah unsure-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals. Dengan demikian, faham survival itu menjadi alat yang penting sekali bagi para penganut evolusionalisme dalam menganalisa kebudayaan-kebudayaan dan dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap kebudayaan itu.
Kecuali sebagai survivals, Tylor sering juga menerangkan adanya unsure-unsur kebudayaan yang tidak termasuk kebudayaan teladan sebagai akibat persebaran dan pengaruh kebudayaan lain. Tylor menerangkan adanya unsure-unsur kebudayaan seperti : dongeng mitologi, permainan, bentuk bajak, bentuk tiang keramat(tiang totem), motif perhiasan, dsb. Sebagai akibat dari persebaran pengaruh kebudayaan-kebudayaan tetangga.

B. TEORI J.G. FRAZER MENGENAI ILMU GAIB DAN RELIGI
     Teori Frazer  mengenai asal mula ilmu gaib dan religi itu dapat diringkas sbb : Manusia memecahakan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Menurut Frazer, Magic adalah semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam serta complex anggapan yang ada dibelakangnya.[9] Mula-mulanya manusia memecahkan setiap persoalan hidup dengan ilmu gaib tetapi lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magic itu tidak ada hasilnyam maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih berkuasa daripadanya, lalu mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu. Dengan demikian timbullah religi.
     Menurut Frazer memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib, dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam. Sebaliknya religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dsb yang menempati alam.[10]













BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dalam kehidupan  masyarkat tidak dapat dipungkiri dalam setiap zamannya terjadi evolusi yang melingkupi aspek agama,  keluarga,  sosial yang universal, serta budaya.. Dengan demikian,  evolusi merupakan  perubahan  kehidupan  manusia melalui beberapa tahapan-tahapan  tertentu. Perubahan  tersebut tidak selalu kearah  kemajuan, akan tetapi perubahan itu dapat ke arah sebaliknya. Karena evolusi itu mengikuti tingkah laku dari setiap tindakan manusia. Hal itu mempengaruhi kegiatan  manusia dalam  segala bidang kehidupannya.  Proses sosial yang terjadi di masyarakat selalu dinamis jadi , evolusi akan selalu terjadi dalam  kehidupan  manusia. Oleh karena itu, ada evolusi keluarga yang menjelaskan tentang asal-usul terbentuknya keluarga. Evolusi sosial universal dan kebudayaan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial manusia dalam segi berinteraksi, maupun yang lainnya. Begitupun dengan kebudayaan yang menjadi cirri khas dari suatu daerah.










DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press
http://iis-cantik.blogspot.com/2011/10/evolusionisme-sosiologi-klasik.html di akses tanggal 10 September  2013 pukul 21.30







[3] Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press

[4] ibid
[5] Ibid.
[6] Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI Press
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9]Ibid.
[10] Ibid.