BAB I
Seiring dengan perkembangan zaman
kebiasaan hidup setiap individu maupun kelompok akan menyesuaikan diri terhadap
perubahan, baik itu perubahan secara lambat (evolusi) ataupun perubahan secara
cepat (revolusi). Namun pada hakikatnya
tidak ada perubahan yang terjadi secara instan tetapi pastinya suatu perubahan itu akan membutuhkan
proses yang lama. Sehingga dalam proses
perubahan (evolusi) tersebut
terdapat tahap-tahap dari
teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam kesempatan kali ini, kita
akan mencoba menguraikan berbagai penjelasan mengenai pengertian dan prinsip-prinsip dasar
evolusionisme, beberapa teori tentang evolusi seperti evolusi sosial universal,
kebudayaan, religi, dan keluaraga melalui makalah dan diskusi kelompok di dalam
kelas
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas
dengan demikian telah dapat kita rumuskan berbagai permasalahan yang akan
menjadi subpokok bahasan, yaitu:
2. Apa definisi dan pengertian evolusionisme?
3. Apa saja prinsip-prinsip dasar
evolusionisme?
4. Sebutkan
dan jelaskan dari beberapa teori evolusi !
5. Bagaimana sejarah berkembangnya teori
evolusi ?
1.3 TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain ;
1. Mengetahui berbagai definisi dan pengertian
evolusionisme
2. Mengetahui berbagai macam prinsip-prinsip dasar evolusionisme
3. Mengetahui beberapa teori evolusi,
serta
4. Mengetahui sejarah perkembangan teori evolusi tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DESKRIPSI TEORI
2.1.1 PENGERTIAN TEORI EVOLUSI
Teori Evolusi menganggap bahwa
keseluruhan sejarah manusia memiliki bentuk, pola, logika atau makna unik yang
melandasi banyak kejadian yang tampaknya serampangan dan tak berkaitan.
Rekontruksi memberikan pemahaman tentang sejarah masa lalu dan membuka jalan
untuk memprediksi masa depan. Obyek yang
mengalami perubahan adalah keseluruhan manusia. Evolusi juga merupakan
perubahan masyarakat dipandang sebagai sesuatu alamiah, terjadi dimana saja,
niscaya dan merupakan ciri tak terhindarkan dari realita sosial.
Masyarakat dipandang sebagai satu kesatuan yang mengalami perubahan secara
dinamis.
Perubahan evolusi dibayangkan berpola
unilinier, mengikuti pola atau lintasan tunggal dan dilakukan secara
bertahap,terus-menerus, meningkat dan komulatif. Evolusi mempunyai penyebab
yang bisa menggerakkan proses kedepan seperti mendorong perubahan evolusi. Perubahan evolusi adalah sifat masyarakat
yang mempunyai kebutuhan dasar “Perubahan”. Perubahan evolusi juga dianggap
spontan karena terjadi secara tidak sengaja yang tidak disadari oleh anggota
masyarakat sekitarnya. Perubahan evolusi dianggap dengan kemajuan, menghasilkan
perbaikan, kehidupan manusia yang lebih baik.
Menurut kerangka berpikir evolusi,
masyarakarat dan kebudayaan manusia telah berkembang dari tingkat yang rendah
pada tingkat yang tinggi, terdorong oleh kekuatan dari dalam untuk berevolusi.
Proses perkembangan itu melalui tingkat-tingkat tertentu, dan tingkatan itu
akan dialami oelh semua kelompok manusia. Menurut aliran evolusi kebudayaan,
semua masyarakat dan kebudayaan mengalami kemajuan atau berkembang secara
progresif, adapun jalan yang ditempuhnya bersifast uniline.
Jika ditinjau
dari sudut pandang evolusi, manusia yang sederhana kebudayaannya dan manusia
yang sudah kompleks atau moder tidak berbeda secara kualitatif, melaikan
berbeda secara graduil, terutama dalam alam pikirannya. Perbedaan terebut
disebabkan oleh perkembangan yang lebih intensif dari potensi mental dan
intelegensi manusianya sendiri. Dengan cara kerja seperti ini, maka tiap-tiap
kebudayaan yang ada di dunia dapat ditempatkan di tempatnya masing-masing dan
dapat diramalkan tingkat yang didudukinya kemudian. Dengan menggunakan kriteria
psychologi rasional dapatlah disusun sejarah kebudayaan manusia tanpa
menggunakan bahan-bahan tertulis, karena anggapan dasar yang dipergunakan oleh
teori ini adalah, bahwa semakin rasional manusia itu, semakin tinggi pula
kedudukannya di dalam tangga evolusi.
a.
Asal mula teori evolusi
Teori
evolusi merupakan buah filsafat materialistik yang muncul bersamaan dengan
kebangkitan filsafat-filsafat materialistik kuno dan kemudian menyebar luas di
abad ke 19. Paham materialisme berusaha menjelaskan alam semesta melalui
faktor-faktor materi. Karena menolak pencipta, pandangan ini menyatakan bahwa
segala sesuatu yang hidup ataupun tak hidup, hal tersebut muncul tidak melalui
pencipta tetapi dari sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi
teratur. Akan tetapi, akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu
memahami keberadaan sebuah kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan
keteraruran. Filsafat materialistis, yang bertantangan dengan karakteristik
paling mendasar akal manusia ini, memunculkan “ teori evolusi” di pertengahan
abad ke 19. Serta Teori Evousi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang
menyesatkan sebagian besar manusia.
Namun demikian, Charles Darwin
adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak
terbukti menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin
mengenai evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas
komunitas sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
Darwin melengkapi teori evolusinya dengan menerapkan prinsip yang sama dengan
asal-usul spesies kepada asal-usul manusia dan memberikan tempat kepada manusia
melakukan proses evolusi dalam rangka seleksi alam dan mempertahankan eksistensinya
di alam.
Teori evolusi ini sangat sulit untuk
meninggalkan teori Darwinisme yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, tetapi
dalam ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tak terkecuali teori Darwin yang
sudah melegenda itu, serta dapat dibuktikan dengan penelitian terbaru seiring
dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Karena ilmu pengetahuan pada zaman modern sekarang ini berkembang dengan sangat
pesat, bukan hanya dalam hitungan tahun dan bulan, tetapi dalam hitungan hari
dan bahwa teori evolusi ini hanyalah sebuah kebohongan
2.1.2 PRINSIP-PRINSIP EVOLUSI
Berbagai
macam teori evolusi yang dicetuskan oleh para tokoh tersebut, akan menjadi
dasar pemikiran tentang evolusi selanjutnya. Proses evolusi dapat dibedakan
atas dasar faktor-faktor berikut.
1.
Evolusi Berdasarkan Arahnya
Berdasarkan
arahnya evolusi dibedakan menjadi dua:
a. Evolusi Progresif
Evolusi
progresif merupakan evolusi menuju pada kemungkinan yang dapat bertahan hidup (survival).
Proses ini dapat dijumpai melalui peristiwa evolusi yang terjadi pada burung
Finch.
b. Evolusi Regresif
Evolusi
regresif merupakan proses menuju pada kemungkinan kepunahan. Hal ini dapat
dijumpai melalui peristiwa evolusi yang terjadi pada hewan dinosaurus.
2.
Evolusi Berdasarkan Skala
Perubahannya
Berdasarkan
skala perubahannya, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a. Makroevolusi
Makroevolusi
adalah perubahan evolusi yang dapat mengakibatkan perubahan dalam skala besar.
Adanya makroevolusi dapat mengarah kepada terbentuknya spesies baru.
b. Mikroevolusi
Berkebalikan
dengan makroevolusi, mikroevolusi adalah proses evolusi yang hanya
mengakibatkan perubahan dalam skala kecil. Mikroevolusi ini hanya mengarah
kepada terjadinya perubahan pada frekuensi gen atau kromosom.
3.
Evolusi Berdasarkan Hasil Akhir
Berdasarkan
hasil akhir, evolusi dapat dibedakan menjadi dua:
a. Evolusi Divergen
Evolusi
divergen merupakan proses evolusi yang perubahannya berasal dari satu spesies
menjadi banyak spesies baru. Evolusi divergen ditemukan pada peristiwa
terdapatnya lima jari pada vertebrata yang berasal dari nenek moyang yang sama
dan sekarang dimiliki oleh bangsa primata dan manusia.
b. Evolusi Konvergen
Evolusi
konvergen adalah proses evolusi yang perubahannya didasarkan pada adanya
kesamaan struktur antara dua organ atau organisme pada garis sama dari nenek
moyang yang sama. Hal ini dapat ditemukan pada hiu dan lumba-lumba. Ikan hiu
dan lumba-lumba terlihat sama seperti organisme yang berkerabat dekat, tetapi
ternyata hiu termasuk dalam pisces, sedangkan ikan lumba-lumba termasuk dalam
mamalia.
2.1.3
PROSES
EVOLUSI SOSIAL SECARA UNIVERSAL
Etnografi
dan etnografika telah menimbulkan suatu
kesadaran di antara para cendekiawan dan para ahli filsafat di Eropa Barat
mengenai besarnya keanekaragaman dari ciri-ciri ras, bahasa, dan kebudayaan
umat manusia di dunia. Di samping itu kerangka cara berpikir evolusionisme
universal tidak hanya diterapkan dalam ilmu biologi saja, tetapi juga telah
menyebabkan timbulnya konsepsi tentang proses evolusi sosial secara universal.
Konsepsi itu terutama dalam bagian kedua abad ke-19 sangat mempengaruhi cara
berpikir para cendekiawan para ahli hukum, para ahli sejarah kebudayaan , para
ahli folklor, dan ahli filsafat mengenai beberapa soal, misalnya soal asal-mula
dan evolusi kelompok keluarga, asal-mula dan evolusi konsep hak milik,
asal-mula dan evolusi negara, asal mula dan evolusi religi dan sebagainya.
Menurut
konsepsi tentang proses evolusi sosial universal semua hal tersebut harus
dipandang dalam rangka masyarakat manusia yang telah berkembang dengan lambat
(berevolusi) dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ke tingkat
–tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplex.
Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia di muka
bumi, walalupun dengan kecepatan yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pada
masakini masih ada juga kelompok-kelompok manusia hidupdalam masyarakat yang
bentuknya belum banyak berubah dari sejak zaman makhluk manusia baru timbul di muka
bumi, artinya mereka baru berada pada tingkat-tingkat permulaan dari proses
evolusi sosial mereka. Bangsa-bangsa lain berada pada tingkat-tingkat
pertengahan dari proses itu, sedangkan ada pula bangsa-bangsa yang telah
mencapai tingkat evolusi sosial yang tertinggi, yaitu bangsa-bangsa di Eropa
Barat.
Diantara
para cendekiawan dan ahli filsafat sosial yang telah menulis berbegai
karangan yang berusaha mendeskripsi
jalannya proses evolusi sosial itu, ada beberapa yang secara luas dan sangat
sistematis telah mempergunakan bahan etnografi dan etnografika itu. Terbitnya
karya-karya mereka itulah yang dapat kita anggap sebagai permulaan dari adanya
ilmu antropologi di dunia ilmiah. Karya-karya ahli filsafat H. Spencer, para
ahli hukum J.J. Bachofen, H. Maine dan L.H. Morgan, ahli sejarah kebudayaan E.
B. Tylor dan ahli folklor J. Frazer itu, akan dibicarakan dengan lebih men dalam
dalam sub-sub bab di bawah ini
2.1.4
KONSEP
EVOLUSI SOSIAL-UNIVERSAL H. SPENCER
Ahli
filsafat Inggris H. Spencer (1820-1903) bersama dengan ahli filsafat Perancis A. Comte termasuk aliran cara
berpikir positivisme, yaitu aliran dalam
ilmu filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi
eksak yang telah dikembangkan dalam ilmu fisika dan alam, dalam studi
masyarakat manusia.
Agak berbeda dengan A. Comte, dalam studi-studinya Spencer mempergunakan bahan
etnografi dan etnografika secara sangat luas dan sangat sistematis. Maka
walaupun dalam tulisan-tulisannya ia selalu menyebut ilmu pengetahuan yang
dilaksanakannya itu “ilmu sosiologi”, yaitu istilah yang diciptakan oleh A.
Comte, ia dapat juga kita anggap salah seorang tokoh utam dalam timbulnya ilmu
antropologi.
Semua
karya Spencer berdasarkan konsepsi bahwa
seluruh alam itu, baik yang terwujud nonorganis, organis, maupun superorganis,
berevolusi karena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi
universal (Spencer 1876:I, 434). Ia menghasilkan suatu buku raksasa yang
bermaksud melukiskan proses evolusi universal itu di antara semua bangsa di
dunia. Secara garis besar Spencer melihat perkembangann masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu
telah atau akan mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat
atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui
tingkat-tingkat yang berbeda-beda.
Sebuah
contoh dari teori Spancer mengenai asal-mula religi. Pangkal pendirian menganai
hal itu adalah bahwa semua bangsa di dunia religi itu mulai karena manusia
sadar dan takut akan maut. Serupa dengan pendirian ahli sejarah kebudayaan E.B.
Tylor, ia juga berpendirian bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan
kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang-orang yang
telah meninggal, terutama nenek moyangnya. Bentuk religi yang tertua ini pada
semua bangsa di dunia akan berevolusi ke bentukk religi yang menurut Spencer merupakan tingkat
evolusi yang lebih komplex, dan berdiferensiasi, yaitu penyembahan kepada
dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewi kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa maut
dan sebagainya. Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia
dalam tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai ciri-ciri yang mantap dalam
bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah
berada dalam bentuk tulisan. Namun, walaupun religi dari semua bangsa di dunia
garis besar evolusi universal akan berkembang dari tingat penyembahan roh nenek
moyang ke tingkat penyembahan dewa-dewa, secara khusus tiap bangsa dapat
mengalami proses evolusi yang berbeda-beda.
Contoh
lain yaitu anggapan Spencer tentang perbedaan antara proses evolusi universal
yang seragam dan proses evolusi khusus
yang berbeda-beda, tampak dalam teorinya tentang evolusi hukum dalam
masyarakat. Dalam hubungan itu Spencer berpendirian bahwa hukum dalam
masyarakat manusia pada mulanya adalah hukum keramat, karena merupakan
aturan-aturan hidup dan bergaul, yang berasal dari pada nenek moyang. Dengan
demikian kekuatan dari hukum dalam masyarakat pada zaman permulaan itu. Secara
sosiologi, maka ketaatan warga masyarakat pada zaman itu kepada aturan-aturan
yang mereka anggap berasal dari para nenek moyang itu adalah karena mereka
saling butuh-membutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Azas timbal balik inilah
yang menjaga bahwa seorang individu tidak akan merugikan atau berbuat jahat
terhadap sesamanya.
Pada
tingkat evolusi sosial, waktu timbul masyarakat
beragama, maka masyarakat telah menjadi sedemikian besarnya hingga
kekuasaan otoriter raja pun tidak lagi cukup. Kekuasaan itu perlu dibantu
dengan sifat keramat raja. Karena itu
ditanamkan keyakinan pada warga masyarakat bahwa raja adalah keturunan dan
bahwa hukum yang dipelihara adalah hukum keramat.
Pada
tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat industri, dimana manusia
menjadi bersifat lebih individualis, dan
dimana kekuasaan raja dan keyakinan terhaddap raja keramat berkurang. Maka
timbul lagi suatu sistem hukum yang baru, yang kembali berdasarkan azas saling
butuh-membutuhkan antara warga masyarakat secara timbal-balik. Prosedur terjadinya undang-undang
adalah dengan perundingan antara wakil-wakil warga masyarakat dalam badan-badan
legislatif. Dalam maslah tersebut terakhir Spencer sempat mangajukan juga
pandangannya mengenai proses evolusi pada umumnya.manurut Spencer, seperti
dalam evolusi biologi di mana jenis-jenis mahkluk yang bisa hidup langsung itu
adalah jenis-jenis yang paling cocok dengan persyaratan lingkungan alamnya,
maka dalam evolusi sosial aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat
dipaksakan tahan dalam masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para
warga masyarakat yang paling cocok dengan persyaratan masyarakat di mana mereka
hidup, yaitu : kebutuhan warga masyakat
yang paling berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan ini
adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest “, yaitu daya tahan
dari jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan
lingkungannya.
2.1.5 TEORI
EVOLUSI KELUARGA J.J. BACHOFEN
J.J.
Bachofen adalah ahli hukum Jerman terbentuknya teori tentang evolusi bentuk
keluarga yang diuraikan dalam bukunya
Das Mutterrecht (1861) dengan banyak bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat
Yunani dan Rum Klasik, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat
bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Menurut
Bachofen, di seluruh dunia keluarga
manusia berkembang mlelalui empat
tingkat evolusi.
Dalam zaman yang telah jauh lampau dalam masyarakat manusia ada keadaan
promiskuitas, di mana manusia hidup hidup serupa sekawan binatang berkelompok,
dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya
tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat bellum ada pada
waktu itu. Keadaan inti dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses
perkembangan masyarakat manusia. Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara
si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat,
karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak menganal ayahnya.
Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala
keluarga. Perkawinan antara ibu dan anak laki-laki dihindari, dengan demikian
timbul adat exogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi itu menjadi luas
karena garis keturunan untuk selanjutnya diperhitungkan melalui garis ibu, maka
timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut
matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam pproses perkembangan masyarakat
manusia. Tingkat kemudian terjadi karena para pria tak luas dengan keadaan ini,
lalu mengambil calon-calon isteri mereka dari kelompok-kelompok lain dan
membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian
keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompom pria. Kejadian ini
menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah
sebagai kepala, dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan partriarchate. Ini adalah tingkat
ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia. Tingkat terakhir terjadi waktu
perkawinan di luar kelompok yaitu exogami, berubah menjadi endogami karenna
berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok
menyebabkan bahwa anak-anak sekaranga senantiasa berhubungan langsung dengan
anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriachate lambat laun
hilang dan berubah menjadi suatu susunan
kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
2.1.6 TEORI EVOLUSI KEBUDAYAAN DI INDONESIA
G.A.
Wilken merumuskan teori-teori tentanng sejumlah gejala kebudayaan dan
kemasyarakatannya,misalnya tektonimi (1875), tentang hakekat maskawin, yang
menurut wilken pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan perdamaian
antara pengantin pria dan wanita setelah berlangsung kawin lari, suatu kejadian
yang sering terdapat dalam masa peralihan antara matriarkhat ke tingkat
patriarkhat (1880 : 662, 665-659, 662-664) dan tentang sejumlah masalah serta
gejala sosial dan kebudayaan lain.
Pada umumnya masalah-masalah serta gejal-gejala masyarakat dan kebudayaan ini
selalu ada hubungannya dengan teori dasarnya mengenai evolusi keluarga,
anggapannya tentang animisme adalah berdasarkan konsepsi seorang ahli yang
menganut konsepsi evolusi kebudayaan bernama E.B. Tylor.
2.1.7 TEORI
EVOLUSI KEBUDAYAAN L.H. MORGAN
Lewis
H. Morgan (1818-1881) mula-mula adalah seorang ahli hukum yang lama tinggal di
antara suku-suku bangsa Indian. Ia mendapat pengetahuan mengenai kebudayaan
orang-orang Indian itu. Karangan-karangannya tentang orang iroquois itu
terutama berpusat kepada soal-soal susunan kemasyarakatan dan sistem
kekerabatan, dan dalam hal ini Morgan terutama berpusat kepada soal-soal
susunan kemasyarkatan dan sistem kekerabatan kepada ilmu antropologi pada
umumnya. Dalam memperhatikan sistem kekerabatan tersebut Morgan mempunyai cara
untuk mengupas semua sistem diambil dari gejala kesejajaran yanng seringkali
ada di antara sistem istilah kekerabatan dan sistem kekerabatan. Menurut
Morgan, masyarakat dari semua bangsa di dunia sudah atau masih akan
menyelesaikan proses evolusinya melalui kedelapan tinngkat evolusi sebagai
berikut :
1.
Zaman Liar Tua, yaitu
zaman sejak adanya manusia sampai ia menemukan api, dalam zaman ini manusia
hidup dari meramu, mencari akar-akar dan tumbuh-tumbuha liar.
2.
Zaman Liar Madya, yaitu
zaman sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur-panah,
dalam zaman ini manusia mulai merubah mata pencaharian hidupnya dari meramu
menjadi pencari ikan di sungai-sungai atau menjadi pemburu.
3.
Zaman Liar Muda, yaitu
zaman sejak manusia menemukan senjata busur-panah, sampai ia mendapatkan
kepandaian membuat barang-barang tembikar, dalam zaman ini mata pencaharian
hidupnya masih berburu.
4.
Zaman Barbar Tua, yaitu
zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai
berternak atau bercocok tanam.
5.
Zaman Barbar Madya
yaitu zaman sejak manusia berternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan
kepandaian membuat benda-benda dari logam.
6.
Zaman Barbar Muda yaitu
zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai
ia mengenal tulisan.
7.
Zaman Peradaban Purba
8.
Zaman Peradaban
Masakini.
Rangka
mengenai kedelapan tingkat evolusi tersebut di atas oleh Morgan dipakai untuk
menyusun bahan yang banyak jumlahnya tentang unsure-unsur kebudayaan dari
berbagai suku bangsa Indian di Amerika
Serikat, dari penduduk asli Australi, dari bangsa-bangsa Yunani dan Rum Klasik
dan dari beberapa bangsa di Eropa sekarang. Walaupun demikian kita jangan menyangka
bahwa Morgan sama sekali mengabaikan kekhususan dan keistimewaan dari
perkembangan tiap masyarakat atau mengabaikan gejala pengaruh luar, tetapi
mengenai beberapa unsure yang terpenting seperti mata pencaharian hidup dan
susunan masyarakat, tiap masyarakat di dunia melewati kedelapan tingkat evolusi
tersebut.
Teori Morgan mengenai evolusi kebudayaan
mendapat kecaman yang sangat tajam dari para ahli antropologi di Inggris dan
Amerika pada awal abad ke-20 ini, dan walaupun ia seorang warganegara Amerika
yang mempunyai pengetahuan yang luas mengenai kehidupan masyarakat dan
kebudayaan Indian, ia toh tidak di anggap sebagai pendekar ilm antropologi
Amerika. Tetapi L.H. Morgan sampai sekarang masih dihormati sebagai tokoh
pendekar ilmu antropologi di Uni Sovyet yang disebabkan karena teorinya
mengenai evolusi kebudayaan itu sangat cocok dengan ajaran K. Marx dan F.
Engels mengenai evolusi masyarakat manusia, dan juga cocok dengan gagasan kedua
tokoh pendekar komunis yang tercantum dalam Manifesto Komunis (1848) mereka
itu. Teori Morgan kemudian menjadi terkenal di kalangan cendikiawan komunis
berkat F. Engels yang sebagai seorang pengarang bergaya lancar, telah berfungsi
membuat populer gagasan-gagasan Marx yang sering terlalu ilmiah sifatnya itu.
2.1.8
TEORI EVOLUSI RELIGI
A.
TEORI
EVOLUSI RELIGI E.B. TYLOR
Edward B. Tylor (1832-1917) adalah orang
Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan dalam kesustateraan dan peradaban
Yunani dan Rum Klasik, dan baru kemudian tertarik akan ilmu arkeologi. Menurut
uraiannya sendiri, seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak
mungkin kebudayaan yang beraneka ragam di dunia, mencari unsure-unsur persamaan
itu sedemikian rupa, sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu
sendiri dari satu tingkat ke tingkat yang lain.
Suatu
penelitian serupa itu dilakukan sendiri dengan mangambil sebagai pokok,
unsure-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesustateraan,
adat-istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang
terpenting yaitu dua jilid Primitive Culture : Researches into the
Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom
(1874). Dalam buku itu ia juga mengajukan teorinya tentang asal-mula religi
yang berbunyi sbb : Asal mula religi adalah kesadaran manusia kan adanya jiwa.
Kesadaran akan faham jiwa itu disebabkan karena dua hal, yaitu :
1)
Perbadaan yang tampak
pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal yang mati. Dan manusia mulai
sadar akan adanya suatu kekuatan yang menyebabkan gerak itu yaitu jiwa.
2)
Peristiwa mimpi. Dalam
mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-tempat lain bukan di tempat di mana
ia sedang tidur. Maka manusia mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada
di tempat tidur, dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat
lain. Bagian lain itulah yang disebut jiwa.
Sifat
bastrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia bahwa jiwa dapat hidup
langsung , lepas dari tubuh jasmaninya. Pada waktu hidup, jiwa itu masih
tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat meninggalkan tubuh waktu
manusia tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat serupa itu kekuatan hidup
pergi melayang, maka tubuh berada dalam keadaan lemah. Tetapi Taylor
berpendirian bahwa walaupun sedang melayang hubungan jiwa dengan jasmani pada saat
tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila manusia mati, jiwanya melayang
terlepas, dan terputuslah hubungan dengan jasmani untuk selama-lamanya. Jiwa
yang telah merdeka dan terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat
sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh
Taylor tidak disebut soul, atau jiwa lagi tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh). Dengan demikian pikiran manusia
telah mentransformasikan kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada
makhluk-makhluk halus.
Pada
tingkat tertua dalam evolusi religinya, manusia percaya bahwa makhluk-makhluk
halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya. Makhluk-makhluk
yang bertubuh halus yang tinggal dekat tempat tinggal manusia, yang tidak dapat
tertangkap leh pancaindera manusia, yang mampu berbuat yang tidak dapat
dilakukan manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
sehingga menjadi objek penghormatan dan penyembahannya, yang disertai berbagai
upacara berupa doa, sajian, atau korban. Religi serupa itulah yang oleh Taylor
disebut animism.
Kemudian
Tylor melanjutkan teorinya tentang asal mula religi yang berdasarkan cara
berfikir evolusionalisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan
keyakinan kepada roh-roh yang mendiam alam semesta sekeliling tempat tinggal
manusia, merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam evolusi
religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga disebabkan adanya
jiwa di belakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam itu. Gunung-gunung
meletus, gempa bumi, angin topan, gerak matahari, dan seluruh gerak alam,
disebabkan oleh makhluk-makhluk halus yang menempati alam.
Jiwa
alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk yang memiliki
suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Pada
tingkat ketiga dalam evolusi religi, bersama dengan timbulnya susunan
kenegaraan, serupa dengan manusia. Maka terdapat pula suatu susunan pangkat
dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa tertinggi sampai dewa-dewa yang terendah
pangkatnya. Susunan tersebut menjadikan manusia berfikir dan menarik kesimpulan
bahwa semua dewa itu adalah penjelmaan dari satu dewa saja. Akibat dari
keyakinan itu adalah berkembangnya keyakinan bahwa Tuhan itu satu, dan timbulnya
religi-religi yang bersifat monotheisme sebagai tingkat yang terakhir dalam
evolusi religi manusia.
Penelitian
Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia telah menimbulkan
adanya konsep survivals. Tylor
memecahkan suatu persoalan dengan suatu pendirian bahwa unsure-unsur itu adalah
unsure-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu
tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals. Dengan demikian, faham survival itu menjadi alat yang
penting sekali bagi para penganut evolusionalisme dalam menganalisa
kebudayaan-kebudayaan dan dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap
kebudayaan itu.
Kecuali
sebagai survivals, Tylor sering juga menerangkan adanya unsure-unsur kebudayaan
yang tidak termasuk kebudayaan teladan sebagai akibat persebaran dan pengaruh
kebudayaan lain. Tylor menerangkan adanya unsure-unsur kebudayaan seperti :
dongeng mitologi, permainan, bentuk bajak, bentuk tiang keramat(tiang totem),
motif perhiasan, dsb. Sebagai akibat dari persebaran pengaruh
kebudayaan-kebudayaan tetangga.
B. TEORI J.G. FRAZER MENGENAI ILMU GAIB DAN RELIGI
Teori Frazer mengenai asal mula ilmu gaib dan religi itu
dapat diringkas sbb : Manusia memecahakan soal-soal hidupnya dengan akal dan
sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia makin
sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat dipecahkan
dengan akal dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Menurut Frazer, Magic adalah
semua tindakan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan
yang ada di alam serta complex anggapan yang ada dibelakangnya.
Mula-mulanya manusia memecahkan setiap persoalan hidup dengan ilmu gaib tetapi
lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magic itu tidak ada hasilnyam
maka mulailah ia yakin bahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus yang lebih
berkuasa daripadanya, lalu mulailah ia mencari hubungan dengan makhluk-makhluk
halus itu. Dengan demikian timbullah religi.
Menurut Frazer memang ada suatu perbedaan
besar antara ilmu gaib, dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku
dan sikap manusia untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan
mempergunakan kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam.
Sebaliknya religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan
makhluk-makhluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dsb yang menempati alam.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam kehidupan masyarkat tidak dapat dipungkiri dalam setiap
zamannya terjadi evolusi yang melingkupi aspek agama, keluarga,
sosial yang universal, serta budaya.. Dengan demikian, evolusi merupakan perubahan
kehidupan manusia melalui
beberapa tahapan-tahapan tertentu. Perubahan tersebut tidak selalu kearah kemajuan, akan tetapi perubahan itu dapat ke
arah sebaliknya. Karena evolusi itu mengikuti tingkah laku dari setiap tindakan
manusia. Hal itu mempengaruhi kegiatan
manusia dalam segala bidang
kehidupannya. Proses sosial yang terjadi
di masyarakat selalu dinamis jadi , evolusi akan selalu terjadi dalam kehidupan
manusia. Oleh karena itu, ada evolusi keluarga yang menjelaskan tentang
asal-usul terbentuknya keluarga. Evolusi sosial universal dan kebudayaan yang
berhubungan dengan tingkah laku sosial manusia dalam segi berinteraksi, maupun
yang lainnya. Begitupun dengan kebudayaan yang menjadi cirri khas dari suatu
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta:
UI Press
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI
Press
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi 1, Jakarta: UI
Press